DESKJABAR – Diantara sebagian orang-orang yang senang berkelana sengaja berjalan-jalan menaiki kereta api lokal Padalarang-Bandung-Cicalengka, ada semacam “mencari oleh-oleh” setibanya di Stasiun Cicalengka, yaitu makanan sate jebred.
Sate jebred dari Cicalengka dibuat dari bagian kulit sapi yang lembut, dengan bumbu rempah-rempah koneng atau ada yang menyebutnya “kunyit”, dan warnanya kuning dengan taburan paru dan kelapa yang padat.
Bagi para pelancong yang tiba di Stasiun Cicalengka, biasanya dengan mudah menemukan penjual pengasong sate jebred karena suka menjajakan jualannya di sekitaran lokasi.
Penjualan
Menurut Eni, produksi sate jebred sebenarnya cukup lama waktunya rata-rata 12-14 jam, mulai membersihkan, merebus, mengerat-ngerat, menusukkan, membumbui, merebus kembali, sampai dijual lagi.
Rata-rata sate jebred mulai diambil para pengasong saat dini hari dan siang hari, dan umumnya habis terjual sore hari, yang belum terjual bisa disimpan dengan direbus lagi sampai dijajakan lagi esok harinya.
Soal pasokan tusuk sate, katanya, juga berasal dari warga Kampung Balong sendiri, karena pasokan rumbun bambu masih cukup banyak. Usaha membuat sate jebred dan membuat tusuk sate pun tak mengenal waktu, namun bagi warga yang menggeluti usaha pertanian menjadi tambahan usaha sehari-hari sambil menunggu panen padi.
Baca Juga: Pasar Jagung Bakal Meninggi, Peluang Usaha Pertanian Tahun 2023
Disebutkan, usaha memproduksi sate jebred memang lumayan baik hasilnya, misalnya jika modal usaha Rp 175.000/hari, dapat diperoleh laba sampai Rp 300.000/hari jika dijual langsung.
Karena para pembuat sate jebred pun lebih suka berbagi usaha dengan mereka yang menjadi pedagang pengasong, laba pun tak sebesar itu. “Ya etang-etang saling masihan usaha ka anu sanes (hitung-hitung memberikan lapangan pekerjaan bagi orang lain),” ujarnya.
Warga yang tinggal di sekitar Stasiun Cicalengka, Enus (62) dan mengaku pernah menjadi pedagang pengasong selama 20 tahun sekitar di stasiun, mengatakan, di antara para pedagang pengasong sate jebred, tak sedikit merupakan usaha turun temurun.
Soal mengapa makanan yang satu ini disebut jate jebred, sejumlah pedagang sate jebred di Cicalengka, Tanjungsari, dan Bandung, senada hanya memperkirakan, kemungkinan dari julukan lama, karena sate kulit zaman dahulu masih cukup lentur sehingga cukup elastis mirip karet, Bahasa Sunda mengistilahkan “ngajebred”. ***