Pasca Konflik Rusia-Ukraina, Dubes Lyudmila: Krisis Global Jadi Kesempatan Indonesia-Rusia Perkuat Kerjasama

25 Januari 2023, 09:54 WIB
Duta Besar Federasi Rusia, Lyudmila Vorobieva sedang memberikan sambutan pada seminar Ekonomi Dunia Pasca Konflik Rusia - Ukraina Menuju Multipolarisme di Hotel Papandayan Bandung, Selasa, 24 Januari 2022. /Deskjabar/Rio Kuswandi

DESKJABAR - Kondisi ekonomi dunia saat ini sedang mengalami krisis, terlebih lagi pasca terjadinya konflik antara Rusia dan Ukraina beberapa waktu lalu.

Dalam keadaan seperti ini, krisis dunia saat ini memberikan kesempatan untuk Indonesia dan Rusia untuk membangun sistem bisnis antara lain, bisnis industri, teknologi dan energi baru dimungkinkan dapat meningkatkan keuntungan bersama kedua negara.

Hal ini seperti disampaikan Duta Besar Federasi Rusia, Lyudmila Vorobieva dalam Seminar Ekonomi Dunia Pasca Konflik Rusia - Ukraina Menuju Multipolarisme di Hotel Papandayan, Bandung, Selasa, 24 Januari 2022 yang diselenggarakan oleh Komite Persahabatan Rakyat Indonesia-Rusia.

 Baca Juga: Di Bandung, Kasur Kapuk Pernah Menjadi Alas Tidur Paling Nikmat, dan Keunggulan, Kini Kembali Dicari

"Banyak pebisnis Rusia ingin bisa bekerjasama masuk ke Indonesia. Bagi kami Indonesia ada kunci kerjasama di Asia Tenggara sejak masa presiden Soekarno," ujar Lyudmila.

Ketidakadilan pihak Barat dalam ekonomi

Lyudmila mengatakan, saat ini Rusia berada di tengah sanksi barat yang sangat tidak adil, namun tidak efektif.

Dan, dengan begitu bisa membuat ekonomi negara menjadi kuat.

"Kami bisa membuktikan justru berbagai sanksi ekonomi menjadikan negara kami kuat. Kami ingin berbagi pengalaman untuk membangun sebuah sistim baru yang lebih adil," tegasnya.

 Baca Juga: Jadwal BRI Liga 1 Pekan ke-20, Persija Vs PSM dan Persib vs Borneo FC, 2 Amunisi Baru Persib

Dibalik perang di Ukraina

Perang di Ukraina menurut Lyudmila adalah perang barat untuk menghancurkan Rusia dengan lokasi di Ukraina.

"Konflik ini bukan tentang Ukraina. Saya lahir di Kyiev, Ukraina. Kami semua bersaudara antara Rusia dan Ukraina. Namun Ukraina menjadi alat politik mengganggu Rusia," jelasnya.

Hal ini menurutnya karena meraka tidak setuju dengan pemerintah Rusia yang saat ini. Hal itu berlangsung selama puluhan tahun.

Dan, sementara mereka menginginkan semua negara menjadi kolonial barat.

"Indonesia paling tahu soal ini. Kami tidak setuju kolonialisme barat, tidak ada negara yang mau menjadi bagian dari kolonialisme," ujarnya.

 Baca Juga: Lieus Sungkharisma Aktivis Tionghoa yang Kerap Kritisi Presiden Jokowi Meninggal Dunia

Kemudian, dunia multipolar tidak bisa ditolak karena dunia sudah bergerak ke arah itu.

"Dan gerakan ini bertujuan untuk membangun tata dunia yang lebih adil," ujarnya.

Selewat tahun 1991, menurutnya, dunia malah lebih berdarah darah, perang makin sering terjadi antara lain ; Iraq, Afganistan, Libya, Syria, Yaman.

"Ini yang terjadi ketika dunia jadi unipolar, imperium Amerika berkuasa penuh akan dunia, siapa saja yang tidak ikut dengan kepentingan mereka akan musnah," ujarnya.

Banyak musuh pihak Barat

Belum lagi menurutnya aneka sanksi ekonomi terhadap negara-negara yang dianggap musuh, ribuan orang Iran, Venezuela, Cuba dan negara lain jadi korban.

"Belum lagi color revolusion, kudeta yang terhadap semua rezim yang membangkang tuan, jauh di puncak kekuasaan," ujarnya.

 Baca Juga: Jerih Payah Dedi Mulyadi Sulap Tambang Pasir Jadi Kawasan Wisata, Zaman Bupati Anne Ratna Penerima Manfaatnya

Kata dia akhirnya dunia bergerak menolak hegemoni ini, Rusia memulai di Syria bersama Iran.

Kemudian tensi di Ukraina makin memanas, imperium ingin menghukum rusia, mencoba mengisolasi dan memecah Rusia dari dalam.

"Tapi kali ini seluruh dunia melawan bersama, tidak semua negara mau ikut dalam kerangka barat, malah barat mengisolasi diri sendiri," ujarnya.

"Perubahan ini menurutnya adalah awal menuju dunia yang lebih adil, tidak bisa lagi hegemon memaksa yang lain untuk ikut mereka," pungkasnya menambahkan. ***

Editor: Kodar Solihat

Sumber: liputan

Tags

Terkini

Terpopuler