Usaha Komoditi Karet di Jawa Barat, Beda Nasib Antara Usaha Kebun Rakyat dan Perkebunan Besar

24 Agustus 2022, 10:51 WIB
Usaha perkebunan karet rakyat di Malangbong, Garut dan bongkah karet rakyat., /dok Acep Munandar

DESKJABAR – Usaha perkebunan karet di Indonesia, termasuk di Jawa Barat kembali menjadi perbincangan kalangan terkait.

Pada usaha komoditi karet di Jawa Barat, ada beda nasib antara usaha kebun rakyat dan perkebunan besar.

Produksi karet alam olahan, diketahui merupakan bahan baku untuk produksi ban mobil, dimana usaha otomotif Indonesia tampaknya kembali menggeliat.

Baca Juga: PTPN VIII Berencana Menambah Areal Sawit di Jawa Barat, Lakukan Konversi Komoditas Karet, Perkebunan

Namun pada Rabu, 23 Agustus 2022, ada informasi perbedaan nasib usaha komoditi karet nasib antara kebun rakyat dan usaha perkebunan besar di Jawa Barat.

Dari usaha kebun karet rakyat dengan pola inti-plasma (pabrik swasta dan kebun rakyat), menurut salah seorang pelaku usaha karet rakyat, Acep Munandar, harga getah karet masih bagus diberikan kepada petani pekebun karet.

Ia mencontohkan, pada usaha miliknya, yaitu di PT BMA di Malangbong, Garut, masih membeli Rp 10.000-11.000/kg untuk jenis bokar lump/CL.

Baca Juga: Wisata di Perkebunan Karet, Instagramable, Cocok Healing dan Ngopi, di Garut dan Kabupaten Bandung Barat (KBB)

Diakuinya, bahwa pola inti-plasma, dimana pabrik karet membeli karet rakyat, lebih efisien karena pabrik tidak berkaitan urusan upah tenaga kerja.

Menurut Acep, petani pekebun karet kini sedang menikmati harga panen getah karet yang cukup signifikan.

Namun belum ada gambaran, seperti apa para petani karet mengupah tenaga penyadap karet. Apakah pekebun menyadap sendiri atau menggunakan jasa tenaga penyadap karet dari warga desa sekitar.

Baca Juga: KISAH MISTERI: Sopir Ambulance Tersesat di Kebun Karet Setelah Mengantar Jenazah, Ada Sosok di Kursi Belakang

Sementara itu, lain halnya perusahaan perkebunan negara di Jawa Barat dan Banten, PTPN VIII cenderung berniat mengkonversi usaha tanaman karet kepada kelapa sawit.

Manajer Karet dan Sawit PTPN VIII, Budi H Tresnadi, menyebutkan, tantangan yang dialami usaha perkebunan besar yang mengusahakan tanaman karet, khususnya di PTPN VIII, adalah soal margin harga jual dan soal ketersediaan tenaga penyadap.

Disebutkan, dari segi harga jual, karet jenis RSS 1 kini stagnan hanya 157 sen dolar AS/kg dari semula delapan tahun lalu rata-rata 4 dolar AS/kg.

Baca Juga: Perkebunan Karet Rakyat di Malangbong, Garut, Bergairah, Pendapatan Bagus Melalui Inovasi Integrasi Usaha

“Usaha karet untuk skala perkebunan besar, sepertinya masih cenderung menguntungkan trader (pedagang). Kalau di tingkat perkebunan, masih cenderung stagnan pendapatan,” ujar Budi Tresnadi, ketika menjelaskan usaha perkebunan karet PTPN VIII, mendampingi SEVP Operasional II PTPN VIII, Wispramono Budiman, di Bandung, Jumat, 19 Agustus 2022.

Pada sisi lain, kata Budi Tresnadi, adalah faktor ketersediaan tenaga kerja penyadap, yang terus menurun dari kalangan masyarakat lokal di Jawa Barat.

Padahal, menyadap karet merupakan peluang kerja dan pendapatan bagi masyarakat lokal yang tersedia dari perkebunan karet di desa mereka.

Baca Juga: Pemerintah Ingin Gairahkan Lagi Industri Karet Alam

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga penyadap karet di jawa Barat, menurut Budi H Tresnadi, PTPN VIII mendatangkan tenaga asal Banten dan Jawa Tengah.

Sedangkan pada sejumlah usaha perkebunan besar karet swasta, beberapa kalangan pengusaha perkebunan, ketika mengobrol di sekretarian Gabungan Pengusaha Perkebunan (GPP) Jawa Barat-Banten, senada mengatakan, kondisinya cenderung “gali lobang-tutup lobang”.

“Efisiensi terus dilakukan, agar dapat tetap dapat memperoleh keuntungan, walau pun relatif tipis agar usaha tetap berjalan,” ujar seorang sekretrais sebuah perusahaan perkebunan swasta.

Disebutkan pula, untuk konversi ke tanaman lain, misalnya sawit, butuh modal besar, dan tidak mudah bagi peusahaan yang hanya mengelola 1 unit perkebunan. ***

Editor: Kodar Solihat

Sumber: Wawancara

Tags

Terkini

Terpopuler