“Saya tertarik kepada kisah Sudarto karena menceritakan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah,” tulis Usmar dalam karangan berjudul ‘Film ‘Saya yang Pertama’, dikutip dari Rosihan Anwar dalam buku ‘Sejarah kecil ‘petite histoire’ Indonesia; Volume 2’.
Setelah ‘Darah dan Doa’, ia segera memulai produksi keduanya dengan masih mengangkat tema perjuangan zaman revolusi, yakni ‘Enam Djam di Djogja’ (1951).
Baca Juga: Cara Melihat Orang yang Memakai Ilmu Pelet, Inilah Ciri-cirinya
Baca Juga: Rutinlah Konsumsi Makanan Ini, Insyaallah Jantung akan Sehat, Ini Penjelasan dr. Zaidul Akbar
Pada 1952, ia memperoleh beasiswa dari Yayasan Rockefeller untuk belajar sinematografi di University of California Los Angeles. Rosihan Anwar menyebut bahwa Usmar tampak lebih mahir dalam mengerjakan produksi-produksi film sekembalinya dari Amerika ketimbang karya pertamanya berkat pengetahuan sinematografi dan dramaturgi.
Tahun-tahun setelahnya, Usmar juga membuat film ‘Lewat Tengah Malam’ (1954) bersama Persari pimpinan Djamaluddin Malik. Melalui Perfini, ia memproduksi ‘Pedjuang’ (1959) yang memenangkan penghargaan aktor terbaik di ajang Festival Film di Moskwa (1961).
Sederet film yang diproduksi Usmar antara lain ‘Dosa Tak Berampun’ (1951), ‘Terimalah Laguku’ (1952), ‘Kafedo’ (1953), ‘Krisis’ (1953), ‘Tamu Agung’ (1955), ‘Tiga Dara’ (1956), dan sebagainya.
Baca Juga: Ingin Langsing dan Sedang Diet, Rutinlah Tiap Bangun Tidur Meminum Minuman Herbal Ala dr. Zaidul Akbar
Film terakhirnya adalah Ananda (1970), setelahnya pada 2 Januari 1971 Usmar wafat dalam usia hampir genap lima puluh tahun.***