“Skenario yang mungkin muncul adalah ‘Demi Maslahat’, artinya Indonesia akan mengorbankan kebersamaan dengan negara-negara MABIMS yang lain dengan mendahului sehari lebih awal memutuskan awal Syawal jatuh pada Senin, 2 Mei 2022,” ujar Mutoha.
Walaupun bisa dianggap Indonesia “inkonsistensi” terhadap kriteria baru MABIMS, ada beberapa pertimbangan yang mungkin akan disampaikan peserta Sidang Isbat, antara lain:
1.Mayoritas masyarakat muslim Indonesia sudah terlanjur meyakini bahwa Idul Fitri jatuh pada Senin, 2 Mei 2022.
Antara lain “tanggal merah” kalender-kalender, maupun tanggal akhir Ramadhan di Jadwal Imsakiyah yang beredar di masyarakat.
“Salah satu penyebabnya adalah karena informasi tentang pergantian kriteria baru menyusul setelah kalender tercetak dengan kriteria lama. Alasan ini akan menjadi salah satu pertimbangan,” kata Mutoha.
2.Indonesia pernah mengalami “tragedi Lebaran hangat” pada tahun 2011 saat Sidang Isbat memutuskan lebaran mundur dari “tanggal merah”.
“Keputusan tersebut sempat menimbulkan ‘kehebohan’ di kalangan masyarakat. Pemerintah tentu tidak ingin mengulangnya kembali di tahun ini,” ujar Ketua Lembaga Falakiyah PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta itu menambahkan.
Apalagi, lanjut Mutoha, Lebaran Idul Fitri kali ini sangat dinantikan umat Islam di Indonesia setelah 2 tahun tidak merayakannya karena pandemi.
Betapa kecewanya masyarakat Indonesia jika seandainya Sidang Isbat memutuskan hanya berdasarkan kriteria semata tanpa mempertimbangkan faktor kondisi sosial umat.