DESKJABAR – Isu harga mie instan akan naik, menjadi bahan perbincangan masyarakat Indonesia.
Isu harga mie instan naik, teringat kebiasaan suka makan mie instan campur nasi, misalnya Indomie, Sarimi, Supermie, dll.
Namun lebih dibahas adalah mie instan apa pun mereknya, dimana ada kebiasaan sebagian orang memakannya campur nasi dengan tujuan agar kenyang.
Mungkin bagi kalangan yang mengerti kesehatan, akan kebingungan, mengapa makan karbohidrat campur karbohidrat juga.
Tapi itulah urusan selera, karena ada pula nostalgia bagi mereka yang pernah makan mi instan campur nasi. Biasanya, pada zaman dahulu, orang-orang makan mie instan campur nasi adalah yang mengirit uang bekal, misalnya anak kost.
Bahkan, pada beberapa kedai makanan di obyek wisata Situ Ciburuy Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, masih ada juga yang menawarkan menu mie instan campur nasi.
Bagi yang penasaran rasanya makan mie instan campur nasi, bisa mencoba. Cukup nasi diberi mi instan yang sudah dimasak berikut bumbunya, dan rasanya memang enak serta bikin kenyang.
Nah, oleh tidak sedikit orang, setelah makan mie instan campur nasi, malah ada yang menjadi kenyang dan merasa kuat untuk beraktivitas.
Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) meminta masyarakat dan pelaku industri pangan terus waspada terhadap potensi krisis pangan global.
Baca Juga: Waw! Pengedar Narkoba Diancam Hukuman Mati?, Sat Narkoba Polres Bogor Bongkar Peredaran Narkoba
Kondisi Indonesia memang masih terbilang aman. Ketersediaan komoditas pangan strategis masih terjamin dan harga relatif stabil.
Kuntoro Boga Andri Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan mengatakan, bagi banyak negara, saat ini krisis pangan sudah di depan mata.
Menurut laporan Global Crisis Response Group Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi, dan sistem finansial.
Potensi terjadinya krisis pangan global karena adanya gangguan rantai pasok yang membuat harga berbagai komoditas melonjak.
Kuntoro mengatakan, terjadinya Perang Ukraina vs Rusia, perubahan iklim, dan pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya usai, menyebabkan adanya tren di kalangan negara-negara sentra produksi pangan mulai melakukan restriksi ekspor ke negara-negara lain.
Disebutkan, pada Juni 2022, International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebut ada berbagai kebijakan restriksi ekspor di beberapa negara, baik berupa pelarangan, izin, dan atau pajak ekspor.
Salah satu komoditas dibatasi adalah gandum. Sejumlah negara penghasil gandum, seperti Rusia, India, Serbia, Mesir, Afghanistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Kosovo, mengeluarkan kebijakan retriksi.
Langkah ini diambil untuk tetap menjaga stabilitas pangan di negara mereka masing-masing.
“Perang Rusia - Ukraina juga sangat memengaruhi pasokan gandum untuk kebutuhan global. Menurut laporan FAO, sekitar 50 negara menggantungkan sekitar 30% impor gandumnya dari Rusia dan Ukraina,” kata Kuntoro, melalui siaran pers, Kamis, 20 Agustus 2022.
Baca Juga: Pengacara YOSEF Ungkap Rencanakan Hal Ini Untuk Meminta KASUS SUBANG Segera Diungkap Kepolisian
Kondisi ini turut mendapat perhatian besar dari pemerintah. Meski gandum bukan komoditas pangan utama, tapi kebutuhan gandum di Indonesia sangat tinggi.
Padahal gandum bukan produk asli Indonesia dan sulit untuk dibudidayakan. Sehingga kebutuhan gandum masih dipasok oleh impor.
Namun disebutkan Kuntoro, Kementan merespon positif pernyataan salah satu pelaku industri pangan olahan berbasis gandum yang menyebutkan kenaikan harga produk pangan olahan tidak akan signifikan.
Pemerintah termasuk Kementan mengharapkan semua pelaku industri pangan terus berkomitmen menjaga harga produk mereka.
Meskipun begitu, kata Kuntoro, pemerintah tetap akan terus mengedepankan kewaspadaan dan mengupayakan langkah preventif sehingga ketersediaan pangan nasional tetap terjaga.
“Potensi bahan baku makanan yang bisa naik berkali-kali lipat tentunya perlu diwaspadai, karena dampaknya yang akan sangat merugikan masyarakat,” ujar Kuntoro.
Berangkat dari kewaspadaan tersebut, maka pemerintah pun memiliki kewajiban untuk mengingatkan masyarakat dan juga pelaku industri pangan terhadap potensi krisis pangan tersebut.
Seraya terus mengupayakan sejumlah langkah menghindarkan Indonesia dari kemungkinan kelangkaan pangan. ***