“Selain itu, ada juga karena faktor-faktor lokal yaitu faktor topografi. Gunung-gunung di sekitar Bogor, seperti Gunung Salak dan Pangrango juga turut mempengaruhi pergerakan awan dan curah hujan,” jelas Sonni.
Menurutnya, kondisi Bogor yang sering terjadi hujan dengan frekuensi tinggi justru memberikan banyak dampak positif. Bahkan, ia menyampaikan bahwa tidak ada dampak negatif yang ditimbulkan dari fenomena alam ini.
“Sisi positif tingginya hujan pastinya lebih banyak. Masyarakat lebih teredukasi terkait karakter curah hujan di wilayah Bogor dibanding dengan wilayah lain dan bagaimana menyikapi kondisi yang ada,” paparnya.
Terkait longsor dan banjir yang sering terjadi di beberapa wilayah di Bogor, ia menegaskan bahwa hal itu bukan karena dampak negatif terjadinya hujan, melainkan karena alih fungsi lahan.
“Pembangunan di daerah resapan serta membangun tanpa memperhatikan karakteristik dan kondisi wilayah menjadi penyebab terjadinya longsor dan banjir," ujarnya.
"Bogor dikenal sebagai Kota hujan sudah jaman zaman VOC bahkan sejak Kerajaan Pajajaran, tapi dahulu tidak terjadi longsor dan banjir, berarti ada kesalahan yang terjadi,” Sonni menambahkan.
Meski demikian, Sonni menyebut bahwa frekuensi hujan di Kota Bogor dalam beberapa dekade terakhir justru mengalami penurunan.
“Data menunjukkan frekuensi hujan di Bogor menurun dalam beberapa dekade terakhir. Namun intensitas hujan deras meningkat. Hal ini dikaitkan dengan perubahan iklim global dan alih fungsi lahan di Bogor,”pungkasnya.***