Pakar Hukum Universitas Indonesia Ragukan Metode Menghitung Kerugian Negara Dalam Kasus Timah

- 28 Februari 2024, 21:14 WIB
Ilustrasi Tambang Timah
Ilustrasi Tambang Timah /Ist

DESKJABAR - Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Andri Gunawan Wibisana menilai kerusakan lingkungan di suatu daerah tambang tidak bisa otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi.

Hal ini disampaikan menanggapi penggunaan metode kerusakan lingkungan untuk menilai adanya kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi tata niaga timah yang ditangani Kejaksaan Agung RI.

“Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” ujar Andri.

Baca Juga: GEMPA BARUSAN Terjadi Di Kota Sukabumi Jawa Barat Rabu 28 Februari 2024, BMKG Menjelaskan

Sebagaimana diketahui, Kejaksaan Agung RI saat ini telah menahan dua mantan Direktur Utama PT Timah periode 2016 – 2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra serta 11 orang manajemen sejumlah perusahaan smelter timah yang beroperasi di Kepulauan Bangka Belitung.

Para tersangka dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi dalam tata niaga timah dengan total kerugian negara mencapai Rp. 271 trilyun. Angka kerugian yang spektaluler itu dihitung oleh pakar IPB Bambang Hero Saharjo berdasarkan kerusakan lingkungan akibat penambangan timah.

Dalam penjelasan kepada wartawan, Bambang mengatakan, pihaknya melakukan penghitungan kerugian ekologi yang ditimbulkan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.

“Kalau semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang.

Terkait dengan kerugian negara akibat kerusakan ekologi, Andri mengatakan bahwa penghitungan harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum, kemudian harus diperiksa metodenya, lazim digunakan atau tidak, diterima dikomunitas ilmiah atau tidak.

“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan untuk menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik evalusi lingkungan dan itu ada pakarnya,” jelas Andri, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ).

Halaman:

Editor: Yedi Supriadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x