"Belenggu Nalar", Memoar Laksamana Sukardi tentang Penjualan Tanker Pertamina yang Dikasuskan

29 November 2023, 16:11 WIB
Laksamana Sukardi /

 

DESKJABAR - Pada tahun 2007 ada peristiwa yang sangat menghebohkan jagat hukum Indonesia, yakni pengusutan kasus penjualan dua unit VLCC (Very Large Crude Carrier) atau kapal tanker Pertamina oleh Kejaksaan Agung RI.

Mantan Menteri BUMN dan Komisaris Pertamina Ir. Laksamana Sukardi, “dituduh” sebagai dalang dari penjualan kapal tanker tersebut, yang diduga merugikan negara puluhan juta dollar.  Pengusutan kasus penjualan kapal tanker  itu merupakan salah satu rekomendasi Pansus DPR RI yang telah disahkan pada Rapat Paripurna tanggal 16 Januari 2007.

Kasus penjualan dua unit tanker oleh PT Pertamina itu awalnya diselidiki oleh KPK sejak tahun 2004. Lalu pada Rapat Kerja Komisi III dengan KPK pada 22 Januari 2007, dilaporkan tahwa lembaga yang dipimpin Taufiequrachman Ruki itu belum berhasil membuktikan adanya unsur memperkaya diri dan kerugian negara, karena belum adanya harga pasar atau pembanding yang wajar dari kapal VLCC; sehingga penanganan kasus belum bisa ditingkatkan ke penyidikan.

Baca Juga: Menaker Puji Kontribusi Huawei Serap 2000 Pekerja Indonesia

Penjualan kapal tanker Pertamina itu lalu diusut KPPU, kemudian dibawa ke Pansus DPR RI. Kasus berakhir setelah Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan Anggota DPR memuji Kejaksaan Agung yang bertindak cepat dalam melakukan pemeriksaan kasus VLCC dengan mengambil alih kasus tersebut dari KPK. Oleh karena itu, Kejaksaan Agung menerima pujian dan KPK dihujat karena dianggap tidak mampu menangani kasus ini.
 
Sebelum jatuh masuk ke Pansus DPR dan Kemudian ditangani Kejaksaan Agung, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah lebih dulu mempersoalkannya. Dalam putusannya, KPPU menyatakan ada kerugian negara yang berkisar US$20 juta sampai dengan US$56 juta, atau setara dengan Rp.180 miliar sampai Rp.504 miliar.
 
Kasus akhirnya ditutup oleh Kejaksaan Agung RI, setelah Kejagung melalui Keputusan Majelis Peninjauan Kembali, menganulasi keputusan kasasi Mahkamah Agung (MA).

Dengan demikian amar putusan KPPU dinyatakan salah. Secara otomatis, keputusan VLCC DPR RI yang didasari keputusan KPPU juga tidak memiliki kebenaran hukum. MA menyatakan bahwa dalam Amar Keputusan Peninjauan Kembali yang mengadili dirinya sendiri, tidak pelanggaran hukum dan tidak ada kerugian negara. Negara justru diuntungkan sebesar US$53,2 juta.  

Pemaparan yang terinci tentang latar belakang dan proses hukum terkait penjualan kapal tanker Pertamina itu, ditulis  melalui buku memoar Laksamana Sukardi, berjudul "Belenggu Nalar". Buku setebal 216 halaman ini diterbitkan oleh Kompas, dan akan diluncurkan dalam waktu dekat ini.

Baca Juga: DTI Terapkan Standar Teh Indonesia untuk Kualitas dan Keamanan Produk


Berikut petikan wawancaranya:

1. Apa yang Anda harapkan dari terbitnya buku Belenggu Nalar ?

Buku ini saya harapkan sebagai referensi bagi generasi muda dan para profesional dan juga para calon pemimpin bangsa untuk memahami penyakit kronis yang diderita bangsa Indonesia yang membuat kita tidak akan pernah maju menjadi bangsa “adi daya”
Belenggu Nalar telah dialami oleh pejabat negara Indonesia, terutama dibidang profesi politik dan penegakkkan hukum. Akal sehat tidak mampu berfungsi ketika birahi kekuasaan mengalahkan moral dan menjelma menjadi perilaku dzalim yang merusak sendi dendi kehidupan bangsa yang merdeka, adil dan makmur.

Saya ingin bangsa Indonesia menjadi sadar setelah membaca buku ini, bahwasanya telah terjadi sebuah kejahatan yang dilakukan negara (State Crime) terhadap seorang anak bangsa Indonesia yang tidak bersalah. Sebuah kejahatan bessar diera reformasi yang dianggap angin lalu karena merupakan sebuah norma yang wajar walaupun sangat destruktif.

Saya tidak mengharap para pemimpin bangsa atau kalangan elit penguasa untuk tertarik membaca buku ini, karena mereka tidak akan mendapatkan insentif apapun, akan tetapi saya torehkan sejarah penting ini untuk menjadi kekayaan literasi bangsa yang siap dibaca oleh generasi masa depan yang peduli, agar pendzaliman yang saya alami tidak akan pernah terjadi pada mereka.

2. Anda mengalami “kejahatan negara” yang massif dan intens lewat kriminalisasi tindakan yang Bapak kerjakan. Diantaranya kasus mana yang paling tidak masuk akal.

Tuduhan yang terorganisir dari para penyelenggara negara dari pimpinan politik (Parpol / DPRRI), penegak hukum, industri media/Pers, yang dengan nalar terbelenggu menggunakan kekuasaan untuk memenjarakan saya.
Terutama dalam kasus Tanker Pertamina, yang telah terbukti menguntungkan negara, tetapi dianggap merugikan negara, karena mereka menggunakan nalar terbelenggu yang kasat mata, menghalalkan pelanggaran hukum demi kekuasaan. Alih alih mendapatkan penghargaan (saya tidak mengharapkan), saya malah dipaksa untuk dijadikan tresangka dan penegak hukum (Kejaksaan) ditekan untuk memenjarakan saya. Walaupun akhirnya sulit untuk dibuktikan dan Tuhan YME telah menyelamatkan saya dari kekejaman (tindakan kriminal) penyelenggara negara. Karena kebenaran telah saya perjuangkan mengalahkan kedzaliman.

Baca Juga: DTI Terapkan Standar Teh Indonesia untuk Kualitas dan Keamanan Produk

3. Bagaimana dan kenapa yang membuat Anda bisa “selamat” dari ‘kejahatan negara’ tersebut? Walaupun upaya kriminalisasi tsb gagal, akibat apa yang Bapak tanggungkan? Baik selama perkara tersebut berlangsung dan setelah selesai?

Saya selamat karena apa yang saya kerjakan tidak ada pelanggaran hukum maupun tindakan korupsi. Semua kebijaksanaan dan proses telah saya upayakan berlangsung secara transparan. Sehingga walaupun dicari-cari penyebabnya sulit untuk membuktikan negara mengalami kerugian. Para saksi yang ikut terlibat dalam proses, tidak ada yang menyalahkan saya. Walaupun mereka diancam dalam proses pemeriksaan. Demikian juga BPK dengan hasil auditnya tidak dapat menemukan kerugian negara.
Tentu juga adalah adanya peranan Tangan Tuhan yang melindungi saya. Mengingat kriminalisasi hukum yang dzalim, “modal kebenaran bukan merupakan jaminan anda menerima keadilan.”
Saya mengalami masa masa dimana saya terus berjuang dan berdoa, bahkan seolah-olah saya hidup diatas sajadah untuk berdoa.

Dengan keputusan saya dijadikan tersangka oleh Kejaksaan RI atas desakan Pansus DPRRI, maka saya dicekal dan dikucilkan oleh masyarakat melalui sosial media, karena saya dianggap sebagai koruptor.
Partner usaha dan dunia perbankan dan keuangan menghindari saya sehingga saya tidak dapat melakukan kegiatan usaha.
Sosial media dan mesin pencarian (Google) pun mendapatkan saya sebagai seorang koruptor di Indonesia.
Mahasiswa ITB menolak kedatangan saya di kampus mereka, padahal saya Ketua Alumni ITB pada waktu itu.

4. Menurut Bapak, apa motivasi atau “keuntungan” para konspirator tersebut menargetkan Bapak masuk penjara? Dendam politik, pemerasan, atau sebab lain?

Kemungkinan besar adalah perbedaan pendapat dan sikap. Kita masih harus belajar berdemokrasi bahwa beda pilihan bukan lah sebuah pengkhianatan. Kita bukan di Korea Utara dimana tidak ada toleransi atas perbedaan pendapat dan pilihan.
Selain itu saya melaksanakan tugas negara dengan memegang erat elan perjuangan reformasi dan memberantas KKN ternyata mengalami benturan benturan keras yang sangat tidak berkenan.
Memenjarakan saya mungkin juga merupakan sebuah kesombongan untuk membuktikan siapa yang benar. Sekaligus mematikan karier politik saya yang saya bangun dengan turut berjuang dalam proses reformasi melawan rejim Orde Baru (Baca buku “Dibalik Reformasi 1998” sebuah catatan pribadi Laksamana Sukardi)***


5. Bagaimana keluarga ketika Bapak sedang mengalami situasi tersebut? Apa hal-hal yang masih Bapak ingat sampai sekarang?

Ayah saya mengalami serangan jantung karena kaget dan ibu mertua saya sakit karena terus berpuasa untuk keselamatan saya sampai ususnya rusak dan harus dipotong.
Istri saya dan keluarga tidak berhenti berdoa. Mereka tidak percaya bahwa saya sebagai koruptor.
Ratusan anak Yatim Piatu yang saya hidupi telah sangat membantu saya, dengan tulus berdoa selama saya di dzalimi.


6. Bisa Bapak ceritakan secara ringkas, apakah apak masih bertemu dengan orang-orang yang dulu mengkriminalisasi?
Bapak sudah kenal lama? Apakah ada komunikasi? bagaimana sikap mereka saat ini?

Saya tidak pernah bertemu kembali, walaupun saya pribadi yang mengambil inisiatif untuk ketemu. Sikap mereka saat ini tidak pernah berubah dan tidak merasa bersalah.

7. Mohon masukan atas hal-hal yang belum saya tanyakan diatas.

Buku Belenggu Nalar jangan dianggap enteng, karena merupakan sebuah pengalaman nyata terhadap sebuah “kejahatan negara” yang terjadi di Republik Indonesia paska reformasi dan harus dibasmi jika kita ingin Indonesia menjadi negara maju. Para pemimpin dan calon pemimpin, profesional penyelenggara negara wajib membacanya. Jangan melihat saya pribadi sebagai penulisnya, tetapi lihat isi dan makna dari tulisannya.***

Editor: Yedi Supriadi

Terkini

Terpopuler