Revisi UU Cipta Kerja Mestinya Mereplikasi Keterbukaan UU TPKS

25 Mei 2022, 16:37 WIB
Ribuan buruh mengikuti aksi May Day Fiesta 2022 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (14/5/2022). Partai Buruh bersama Gerakan Buruh Indonesia memperingati Hari Buruh Internasional dengan menggelar aksi May Day Fiesta dengan membawa 18 tuntutan diantaranya menolak Omnibus law UU Cipta Kerja, penurunan harga bahan pokok dan BBM, dan penolakan upah murah. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww. /Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

 

DESKJABAR –  Gerak cepat DPR dan pemerintah dalam mengesahkan Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) disebut tidak melibatkan keterlibatan publik.

Dikhawatirkan proses ini akan terulang lagi dalam pembahasan perbaikan UU Cipta Kerja. Karena itu, revisi UU Cipta Kerja mestinya mereplikasi keterbukaan UU TPKS.

Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe) Violla Reininda, di Jakarta, Rabu, 25 Mei 2022, mengatakan, mengingat tidak ada progres signifikan dalam hal keterbukaan dan partisipasi publik (di revisi UU PPP dan UU IKN), perbaikan UU Cipta Kerja potensial berakhir sama.

“Kepentingan yang mau disasar bukan kepentingan publik, sehingga partisipasi publik potensial dianggap tidak relevan dan formalitas,” kata Violla Reininda.

Baca Juga: Jadwal Lengkap Turnamen Badminton Indonesia Masters 2022 dan Indonesia Open 2022, The Minions Beraksi Lagi

Padahal, katanya, salah satu amar putusan MK terkait UU Cipta Kerja adalah membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mau mengkritisi dan memberikan masukan terhadap revisi UU Cipta Kerja.

RUU P3 yang disahkan ini disebut akan menjadi landasan hukum bagi UU Cipta Kerja.

Partisipasi publik dalam pembentukan UU kata dia, harus dibaca bersamaan dengan beberapa aspek, yaitu Akses seluruh dokumen terkait pembentukan dan Proporsionalitas waktu pembentukan dan Bagaimana DPR dan Pemerintah secara aktif mengundang dan melibatkan masyarakat. Namun ketiganya tidak tercapai dalam pembahasan revisi UU P3.

Baca Juga: UPDATE INI Pernyataan TEGAS KUASA HUKUM DANU, Achmad Taufan Soedirjo: Jika Ada BUKTI Serahkan Ke Penyidik

Pembahasan ini hanya dilakukan kurang dari dua pekan, dan dokumen tidak dapat diakses oleh masyarakat. “Kanal-kanal, Rapat-rapat terbuka di media sosial bernilai formalitas. Tidak bisa dijadikan patokan partisipasi karena tidak terdapat komunikasi dua arah dan interaktif,” kata Violla. 

Kemudian partisipasi publik, seperti yang terjadi dalam pembahasan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diinisiasi oleh kelompok masyarakat. Harusnya, kata dia pemerintah dan DPR yang pro aktif.

“Partisipasi publik artinya DPR dan Pemerintah yang proaktif dan inisiatif melibatkan masyarakat dan pihak-pihak yang terkait, bukan sebaliknya,” tandas Violla.

Baca Juga: Jadwal Final Liga Champions 2022, Gelandang Thiago Alcantara Masih Berpeluang Perkuat Liverpool

Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan DPR saat ini menunggu surat presiden (surpres) untuk memulai perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) usai mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang.

"Kita akan tunggu surpres dari Presiden. Kemudian, sesuai mekanisme di DPR, akan kita teruskan untuk dilaksanakan sesuai dengan mekanismenya," kata Puan.

Menurutnya, revisi UU P3 sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyoal metode omnibus law tak diatur dalam UU P3 sebelum direvisi.

Baca Juga: Beginilah Tanggapan HYBE Label Perihal Penyebab Kim Garam Mendapat Point 5 di Rapot Sekolahnya

Puan berharap UU P3 hasil revisi dapat diimplementasikan dan memberi manfaat.

Dipecah jadi 11 UU

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menyarankan agar pembentukan omnibus law tidak seperti yang saat ini dengan memasukkan bahasan semua dalam satu UU.

Baca Juga: Yeremia Rambitan Minta Maaf, Mengaku Bersalah Atas Ucapan Bernada Pelecehan di SEA Games 2022

Menurutnya, UU Ciptaker terlalu gemuk dengan memuat 11 klaster dan memasukkan 79 undang-undang di dalamnya.

"Bikin UU Omnibus bukan bikin 11 UU dibuat satu. Itu keliru gak bisa, terlalu besar. Harusnya kalau buat omnibus dibikin kecil-kecil. satu klaster-satu klaster. Ini kan 11 klaster, 79 UU," ujar Zainal.

Menurutnya UU Ciptaker bisa dipecah menjadi 11 UU yang lebih kecil dengan cakupan yang lebih khusus per klaster.

Baca Juga: Hasil Drawing Indonesia Masters 2022: The Minions Kembali dari Cedera, Giting Langsung Hadapi Juara SEA Games

"Kalau saya harusnya, bikin 11 klaster itu berarti bikin 11 UU omnibus. Harusnya dibuat lebih kecil-kecil," tegasnya.

Zainal juga mengungkapkan salah satu yang penting dalam UU P3 adalah partisipasi publik. Sayangnya, hal itu tidak dibahas secara mendetail.

Padahal MK sudah memberikan batas bahwa UU dibuat dengan mekanisme yang meaningfull participation.

Baca Juga: INISIATOR KASUS PEMBUNUHAN SUBANG SEORANG WANITA? Aksi Saling Serang Saksi Danu vs Yosef Terus Berlanjut

"Meaningful participation itu gak dibahas dengan detail. MK bilang partisipasi publik itu harus dengan meaningful participation. Itu tidak dibahas dengan detail dalam UU P3 dan itu bermasalah menurut saya," terang Zainal.

Sebagai informasi, meaningful participation merujuk pada partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU dilakukan secara bermakna, sehingga tercipta partisipasi dan keterlibatan publik yang sungguh-sungguh.

Publik yang dimaksud adalah kelompok dan masyarakat yang terdampak aturan UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Asal Muasal Sosok Badarawuhi di Film KKN Desa Penari. Percaya Atau Tidak?

Serta kelompok masyarakat yang punya perhatian terhadap UU yang tengah dirancang. Jadi, partisipasi publik mesti memenuhi tiga syarat. Yaitu hak publik untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan diberi penjelasan/jawaban.

Sebab itu, Zainal mengkhawatirkan rancangan UU P3 yang menurutnya bermasalah malah dijadikan sebagai landasan dalam mengubah UU Ciptaker.

"Saya agak khawatir kalau kemudian tiba-tiba rancangan UU yang agak bermasalah ini dipakai untuk mengubah UU Ciptaker. Bahkan alih-alih memenuhi keputusan MK, yang terjadi adalah dia membuat semacam alasan untuk membenarkan kesalahan yang ditegur oleh MK itu," tandasnya. ***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: DPR RI

Tags

Terkini

Terpopuler