Buruh Garmen Jabar akan Ngadu ke Kemenaker: Kami Butuh Kerja Bukan UMK Tinggi

- 29 Januari 2021, 06:15 WIB
Perwakilan Paguyuban Buruh Garmen Jawa Barat  (PBGJB) yang mewakili sekitar 300.000 buruh di daerah itu akan mengadukan nasib ke Kementerian Ketenagakerjaan di  Jakarta pada Senin (1/2/2021).
Perwakilan Paguyuban Buruh Garmen Jawa Barat (PBGJB) yang mewakili sekitar 300.000 buruh di daerah itu akan mengadukan nasib ke Kementerian Ketenagakerjaan di Jakarta pada Senin (1/2/2021). /FOTO ANTARA/HO-dok.PBGJB/Atman Ahdiat/

DESKJABAR - Akibat nasibnya yang semakin sulit karena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, perwakilan Paguyuban Buruh Garmen Jawa Barat (PBGJB) akan mengadukan nasib ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) di Jakarta pada Senin 1 Februari 2021.

“Beberapa tahun ini ribuan rekan kami buruh pabrik garmen di Jabar yang bekerja di sektor padat karya menjadi pengangguran akibat relokasi pabrik ke daerah lain, atau bahkan ditutup,” kata Ketua PBGJB Agung melalui pernyataan di Jakarta, Kamis.

Menurut Agung, PBGJB yang mewakili sekitar 300.000 buruh di Jabar, sebenarnya sudah siap mengerahkan ribuan anggota paguyuban untuk melakukan demonstrasi agar aspirasi mereka didengar demi perjuangan untuk menyambung periuk nasi, untuk membayar kontrakan serta kehidupan sehari-hari untuk keluarga.

Baca Juga: Menag Yakin dengan Kapasitas Kapolri Listyo Sigit dalam Menjaga Toleransi Beragama

Baca Juga: Dua Kuintal Lebih Sabu Disita dan Belasan Ribu Butir Ekstasi Disita BNN di Aceh dan Sumsel

“Tapi berhubung kondisi pandemi Covid-19, pihak kepolisian hanya mengijinkan 30-50 orang saja untuk mengikuti aksi, sementara pihak Kemenaker meminta 10 orang perwakilan untuk dialog,” katanya.

Agung mengatakan bahwa ia meminta perhatian dari pemerintah, khususnya kepada para buruh di pabrik garmen dengan memperlakukan kebijakan yang lebih berpihak kepada industri padat karya yang memperkerjakan ratusan ribu buruh berpendidikan rendah.

Sementara itu Sekretaris PBGJB Azizah mengakui bahwa sudah ribuan rekan-rekannya yang mengalami PHK akibat pabrik yang tutup tidak mampu menanggung beban Upah Minimum Kabupaten (UMK).

“Kami hanya bisa bekerja di garmen karena pendidikan kami yang rendah dan perusahaan mana yang bersedia mempekerjakan kami selain pabrik garmen yang padat karya,” katanya.

Bersama sama dengan para pengurus lainnya yang terdiri dari dari berbagai pabrik garmen. Agung dan Azizah meminta dengan sangat agar pemerintah cepat tanggap melihat kondisi yang dilematis ini dan menuangkan dalam rancangan peraturan pemerintah tentang pengupahan yang pro industri padat karya untuk buruh garmen.

Halaman:

Editor: Zair Mahesa

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x