"Perubahan suhu global, pola hujan tidak teratur, peningkatan intensitas bencana alam, dan perubahan lingkungan lainnya mengganggu ekosistem hidup satwa liar. Perubahan iklim dapat mempengaruhi perilaku satwa liar termasuk pola migrasi, pola berkembang biak, dan lainnya,"jelas Prof Aryani.
Pemanasan global dan perilaku migrasi satwa liar antar pulau, antar benua, bahkan antar negara, memiliki potensi dalam penyebaran penyakit zoonosis.
Peran ahli ilmu faal berikutnya terkait potensi penularan penyakit zoonosis adalah melakukan upaya mitigasi dan adaptasi satwa liar.
"Manfaat ilmu faal dalam mendukung konservasi satwa liar semakin nyata. Nilai baku faal berguna dalam mendukung pelestarian hewan sehingga dapat beradaptasi dan hidup lebih lama dengan menjaga kesehatannya dan mencegah penyakit,"tegasnya.
Diketahui, laporan kejadian penyakit pada satwa liar sebagian besar adalah pada satwa liar yang sudah mati (hasil pemeriksaan patologis, histopatologis maupun mikrobiologis).
Terkait hal itu, Prof Aryani mengaku memiliki pengalaman penelitian yang dapat menjadi model (contoh) terkait penurunan populasi dengan menemukan nilai baku faal dugong dan kelelawar pada hewan hidup.
"Nilai baku faal satwa liar dapat diukur melalui parameter hematologi (gambaran darah dan saturasi oksigen), kimia darah (kadar glukosa darah), sistem kardiovaskuler, respirasi, laju metabolisme, serta kadar MDA (Malonaldealdehyde) dan ROS (Reactive Oxygen Species) dan morfofungsi organ," paparnya.
Prof Aryani juga mempelajari pola perilaku dan migrasi kelelawar sebagai reservoir agen penyakit, terkait dengan penyebaran penyakit zoonosis yang di distribusikan saat terbang maupun saat perpindahan ke lokasi lain.