KRISIS Kawasan Bandung Utara Akibat Kesalahan Pemerintah, Puluhan Ribu Hektare Lahan dalam Kondisi Kritis

- 20 Januari 2024, 16:27 WIB
Puluhan ribu hektar lahan di Kawasan Bandung Utara kritis, akibatnya berdampak pada terjadinya banjir dan endapan lumpur yang melanda Kota Bandung setiap musim hujan.
Puluhan ribu hektar lahan di Kawasan Bandung Utara kritis, akibatnya berdampak pada terjadinya banjir dan endapan lumpur yang melanda Kota Bandung setiap musim hujan. /dok.Odesa/

DESKJABAR – Bencana banjir disertai lumpur yang menyergap Kota Bandung setiap musim hujan, sebagian besar berasal dari perbukitan di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang kondisinya saat ini kritis akibat pembangunan tanpa kendali dan juga akibat praktik pertanian monokultur.

Kondisi kritis yang terjadi di Kawasan Bandung Utara terjadi dinilai akibat kesalahan pemerintah, baik gubernur , bupati, hingga desa di kawasan tersebut, yang tidak menganggap hal itu sebagai persoalan serius. Saat ini tercatat puluhan ribu lahan di kawasan utara Kota Bandung tersebut dalam kondisi kritis.

Baca Juga: Ratusan Warga Cisarua Bogor Tertipu Arisan Get, Kerugian Hingga 3 Miliar, Polisi Lakukan Penyelidikan

Hal itu dikemukakan Pendamping Ekonomi pertanian Yayasan Odesa Indonesia, Basuki Suhardiman, di sela kegiatan pembagian bibit tanaman buah-buahan kepada petani di Kampung Cikawari, Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung,  Kamis, 18 Januari 2023.

Basuki Suhardiman menilai, kondisi kritis yang dihadapi Kawasan Bandung Utara terjadi karena kesalahan dari pemerintah yang tidak memiliki program konkret disertai aksi yang praktis. Gubernur, bupati hingga desa di Kawasan Bandung Utara tidak menganggap hal tersebut sebagai persoalan, padahal dampaknya telah meluas.

“Bukan hanya lumpur yang membanjir di Kota Bandung, tetapi juga krisis air bersih,” kata Basuki.

Basuki menambahkan, kebijakan pemerintah selama ini normatif karena hanya bicara regulasi dan melupakan tindakan praktis di lapangan. Banyak orang dari luar daerah membangun villa, hotel dan café tanpa memiliki empati pada lingkungan.

“Demikian juga pada lahan pertanian yang kebanyakan tanahnya telah dimiliki orang luar Cimenyan juga tidak diurus dengan kebijakan memerdulikan lingkungan,” kata Pegawai Institut Teknologi Bandung ini.

Menyadari kondisi kritis yang dihadapi Kawasan Bandung Utara saat ini, menurut Basuki, sudah saatnya pemerintah bekerja secara benar, bukan sekadar pencitraan atau sekadar supaya dianggap peduli lingkungan dengan sekali aksi lalu konferensi pers.

“Jika mau serius dengan pemberdayaan pangan dan ekologi kita bisa berharap perbaikan terjadi di Kawasan Bandung Utara.,” papar Basuki.

Basuki merasa prihatin karena Kawasan Bandung Utara memiliki lahan yang kritis mencapai puluhan ribu hektar. Kalau serius ditanami pohon buah-buahan, maka petani akan membaik secara ekonominya karena mendapatkan hasil panen selain sayuran.

Baca Juga: UPDATE Tol Getaci, Molor Lagi, Inilah Jadwal Terbaru Pembebasan Lahan dan Pembangunan Tol Gedebage Ciamis

“Petani yang selama ini hanya menanam sayur dan sangat menunggu pembagian bibit buah-buahan. Dan pada tanah milik orang kota yang kurang diurus mestinya para pemiliknya harus ikut bertanggungjawab dengan memperbanyak bibit buah-buahan,” kata Basuki.

Warga Cimenyan  berharap mereka mendapatkan bibit pohon buah-buahan, selain untuk menghijaukan lahan kritis juga memberikan dampak ekonomi kepada warga setempat.
Warga Cimenyan berharap mereka mendapatkan bibit pohon buah-buahan, selain untuk menghijaukan lahan kritis juga memberikan dampak ekonomi kepada warga setempat.

Kawasan Bandung Utara Butuh Jutaan Bibit

Sementara itu, petani Mekarmanik yang rutin menjalankan kegiatan pertanian agroekologi dari Odesa, Toha Odik mengatakan, apa yang dilakukan Odesa Indonesia selama delapan tahun terakhir telah memberi kontribusi yang meyakinkan bagi penguatan pangan dan perbaikan lahan pertanian.

Toha yang selama ini mendistribusikan bibit buah-buahan, termasuk menggerakkan tanaman kopi, kelor dan hanjeli yakin langkahnya tepat sasaran dan dampaknya telah nyata dirasakan masyarakat.

“Petani di Cimenyan bukannya tidak mau menanam pohon besar. Mereka enggan menanam bibit dari pemerintah karena jenis bibit yang dibagi oleh pemerintah itu berupa tanaman keras penghasil kayu. Tanaman kayu seperti surian, pinus atau mahoni itu tidak menguntungkan secara ekonomi,” ujar Toha.

“Kalaupun ditanam akan ditebang hanya dalam waktu 4 sampai 5 tahun. Kalau yang dibagi adalah bibit buah-buahan lain ceritanya. Saya menjalankan program ini dan sekarang hasilnya luar biasa,” kata Toha menambahkan.

Baca Juga: Tinjau Lima Pasar di Kota Bogor, Bima Arya Apresiasi Progres Revitalisasi Pasar Jambu Dua Mencapai 73 Persen

Toha bercerita, pada awalnya petani sering menolak bibit pohon besar karena sebelumnya pemerintah memaksakan tanam dengan sekadar instruksi. Akibatnya, banyak bibit tanaman penghasil kayu seperti mahoni dan suren itu dibuang-buang saja. Bahkan ada banyak petani yang pura-pura menanam karena mereka menjalankannya sekadar untuk menyenangkan hati perangkat desa.

“Petani tidak mau protes atau menuntut karena tidak enak atas pemberian. Kalau diberi kan harus berterimakasih. Masalahnya, bibit tanaman kayu itu tidak memberi manfaat bagi ekonomi. Lain dengan bibit buah seperti nangka, sirsak, matoa, durian, sukun, jeruk, jambu, dan pepaya. Kalau bibit buah seperti sekarang petani membutuhkan karena telah merasakan manfaat hasil dari yang kita tanam,” papar Toha.

Toha menyarankan agar pemerintah dalam menjalankan program penghijauan tidak sekadar menghijaukan, tetapi lebih cerdas dengan memahami kebutuhan para petani. Kalau terus-terusan banyak banyak bicara tanpa kegiatan yang nyata,

Toha juga berkisah, selama delapan tahun terakhir telah mendistribusikan lebih 870.000 bibit tanaman buah-buahan dan juga tanaman kopi yang jumlahnya mencapai lebih 600.000 bibit. Tetapi menurutnya, jumlah itu belum seberapa karena luasnya lahan pertanian mencapai puluhan ribu hektar.

Menurutnya, kebutuhan bibit buah-buahan mestinya minimal 2 juta setiap tahun agar kecamatan Cimenyan. Cilengkrang dan Cileunyi bisa lebih baik.***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Wawancara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah