Guru Besar IPB University Jelaskan Secara Ilmiah Bahaya Pelihara Satwa Liar Perorangan atau Lembaga !

- 3 Agustus 2023, 15:08 WIB
Guru besar IPB University sekaligus Pakar Genetika Ekologi, Prof Ronny Rachman Noor, jelaskan secara ilmiah bahaya pelihara satwa liar secara perorangan maupun lembaga. / IPB University
Guru besar IPB University sekaligus Pakar Genetika Ekologi, Prof Ronny Rachman Noor, jelaskan secara ilmiah bahaya pelihara satwa liar secara perorangan maupun lembaga. / IPB University /



DESKJABAR – Meluasnya berita kematian harimau Benggala yang dipelihara oleh selebritas Indonesia menuai polemik ditengah masyarakat, meskipun bukan jenis satwa yang dilindungi di Indonesia.

Harimau Benggala termasuk kategori satwa yang terancam punah dari habitat aslinya, berdasarkan data dari lembaga konservasi dunia international Union for Conservation of Nature (IUCN).

Guru besar IPB University sekaligus Pakar Genetika Ekologi, Prof Ronny Rachman Noor memberikan penjelasan ilmiah terkait pemeliharaan satwa liar oleh perseorangan. Ia menuturkan dari segi psikologi maupun fisiologi, pada umumnya satwa liar yang ditangkap dan dipindahkan dari habitat aslinya dipastikan akan mengalami stress.

Baca Juga: Massa Bakar Ban dan Blokir Jalan di Depan Kantor Kejati Jabar, Tuntutan Minta Copot Kejari Cirebon

Stress yang terjadi pada satwa dapat menyebabkan fenomena perubahan ekstrim metabolisme dan fisiologi di dalam tubuh satwa liar tersebut.

“Bagi orang awam, satwa liar yang dipelihara oleh perorangan maupun lembaga seperti kebun binatang maupun taman safari dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap satwa liar,” kata Prof Ronny.

Namun pada kenyataannya lanjut Ronny, pembatasan gerak menjadi salah satu faktor pemicu stress dan kematian pada satwa tersebut.

Prof Ronny mencontohkan, harimau Sumatera di alam memiliki daya jelajah yang cukup luas (Puluhan bahkan ratusan kilometer persegi untuk setiap ekornya). Dengan demikian, paling tidak memerlukan tempat pemeliharaan yang cukup luas pula di tempat penampungan barunya.

“Pada prinsipnya, setiap hewan termasuk satwa langka memiliki zona homeostasis (zona ideal dimana hewan dapat tumbuh dan bereproduksi) untuk setiap kondisi fisiologi tubuhnya.  Jika terjadi perubahan lingkungan yang drastic, maka satwa langka akan berusaha mengembalikan dirinya dari kondisi fisiologi ke kondisi yang mendekati zona homeostasisnya, dengan cara mengalokasikan energy dan berbagai sumber daya lain di dalam tubuhnya,” jelas Prof Ronny.

Akibatnya lanjut Ronny, pengalihan energy dan sumber daya pada tubuh satwa liar berefek terhadap defisitnya energy da sumber daya untuk kebutuhan lain, seperti untuk kebutuhan hidup pokok (basal/fasting metabolic rate). Biasanya hal itu juga akan mengorbankan pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya.

Baca Juga: Menaker, Ida Fauziyah: Pendidikan Tinggi Memiliki Peranan Penting dalam Peningkatan Kualitas SDM di Indonesia

“Jika stress ini tetap berlanjut, maka satwa langka akan mengorbankan alokasi energy dan sumber daya lainnya lebih banyak untuk mengatasi stress. Kondisi itu akan berakibat satwa tidak dapat bereproduksi. Bahkan jika satwa tersebut tidak dapat mengatasi stress maka akan menyebabkan kematian,” kata Prof Ronny.

Konsep konservasi melalui pemeliharaan satwa langka di kebun binatang, papar Prof Ronny, termasuk pemeliharaan yang dilakukan oleh perorangan, sudah banyak ditinggalkan dalam ilmu konservasi modern, terlebih yang menerapkan sistem pengandangan, karena pembatasan ruang gerak akan memicu stress.

“Konsep in situ seperti pemeliharaan satwa langka di suaka margasatwa dan taman konservasi dinilai yang paling tepat, walaupun memerlukan biaya yang cukup tinggi,” pungkasnya.***

Editor: Yedi Supriadi

Sumber: IPB University


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x