Menelisik Kehidupan Warga Baduy Dalam sambil Memahami Filosofi Kehidupan Penuh Cinta Damai

20 Juni 2023, 07:05 WIB
Kampung yang ditinggali oleh warga Baduy Luar dan Baduy Dalam, kehadirannya menjadi daya tarik wisatawan untuk datang dan mengenal warga Baduy dari dekat /Desk Jabar/Dicky Harisman/

 

DESKJABAR - Menelisik kehidupan warga Baduy Dalam sambil memahami filosofi hidup mereka adalah bagian dari keingintahuan banyak orang yang memutuskan datang ke tempat mereka di Desa Kanekes Kabupaten Lebak Banten.

Ada banyak alasan dari kunjungan wisatawan yang datang ke Baduy Dalam, entah untuk mengetahui budaya mereka yang tetap patuh pada leluhur untuk melarang ini, menganjurkan itu dan sebagainya.

Baca Juga: ADA Destinasi Wisata Baru di Kota Bandung dan Pertama di Asia Tenggara, Catat Jadwal dan Harga Tiketnya

Ada juga yang datang karena kepenasaran pada sebuah komunitas warga yang desa yang notabene hingga sekarang tak mau melanggar larangan dari ada istiadat yang ada sejak puluhan tahun lalu.

Misalnya mereka yang hingga sampai saat ini tak membiarkan rumahnya terang benderang oleh lampu listrik atau teknologi yang masuk ke daerah mereka.

Awalnya Baduy Bukanlah Suku

Banyak  yang menyebut komunitas urang Baduy ini dengan sebutan "Suku",  Padahal menurut Ayah Nasa salah satu warga Baduy Dalam yang rumahnya sering kedatangan tamu untuk menginap di rumahnya. Baduy pada awalnya bukanlah suku.

Namun seiring dengan semakin banyaknya wisatawan yang datang ke Baduy Dalam, penyebutan warga Baduy dengan kata "Suku" ini akhirnya menjadi kebiasaan.

Obrolan mendalam mengenai Baduy tersebut terungkap dalam obrolan ringan di rumah Ayah Nasa pada Sabtu 17 Juni 2023 kemarin, saat DeskJabar sengaja datang ke Baduy untuk kemudian menuangkannya kedalam beberapa tulisan.

Obrolan dengan warga Baduy yang ditunjuk oleh penyelenggara perjalanan Open Trip Baduy sebagai tuan rumah dikemas dalam diskusi tengah malam sambil ngopi atau pun ngeteh.

Menurut Azki, pemandu wisata yang juga memandu acara obrolan seputar dinamika kehidupan urang Baduy ini selalu menjadi acara yang seru dalam setiap trip yang dipercayakan kepadanya.

Baca Juga: UJI Coba Kereta Cepat Jakarta Bandung Capai 300 Kilometer per Jam, Target Selanjutnya Kecepatan 385 Km per Jam

Dibawah temaram lampu minyak dan diskusi tanpa satupun pesertanya yang memegang alat komunikasi berupa handphone ini menjadi sebuah pengalaman baru. Padahal puluhan tahun lalu kita sudah terbiasa hidup tanpa teknologi komunikasi ini.

Sosok ayah Nasa dikenal para tamu yang sudah beberapa kali berkunjung ke Baduy adalah sosok warga Baduy yang terampil, ramah dan tak pernah mengeluh.

Selain dipercaya menjadi ayah bagi para tamu yang menginap di rumahnya, Nasa  terbiasa membawakan barang bawaan tamu yang hendak berkunjung ke Baduy Dalam jumlah tidak sedikit.

Biasanya tamu perempuan atau orang tua suka meminta pertolongan Nasa membawakan barang bawaannya sejak tamu turun dari Terminal Ciboleger ke Baduy Dalam hingga pulangnya ke daerah Cakueum yang merupakan kawasan luar Baduy.

Masakan  ayah Nas sangat enak, malam itu kami dijamu dengan makan malam beserta lauk berupa sayur asem, goreng tahu, tempe dan ikan asin serta sambel khas kawasan ini

Warga Penuh Cinta Damai

Menurut Nasa, warga Baduy adalah sosok yang penuh cinta damai. Di kampungnya nyaris tak pernah ada kericuhan ataupun kejahatan yang dilakukan warganya.

Pengamanan untuk lingkungan warga Baduy dilakukan oleh para lelaki dari pagi sampai sore secara bergiliran. Sistem keamanan lingkungan seperti ini di tempat lain dikenal dengan nama Ronda yang umumnya dilakukan pada malam hari.

Nasa memaparkan, kegiatan ronda di kampung Baduy dalam lebih menitikberatkan pada keamanan rumah-rumah warga dari bahaya kebakaran atau pada penjagaan jika suatu saat ada warganya yang menderita sakit, ada ladang yang sumber airnya terganggu akibat longsor dan sebagainya.

Karena patuh dan percaya pada para leluhurnya itulah di kampung Baduy nyaris tidak pernah  terjadi kasus pencurian.

Tiga Desa Baduy

Ada tiga desa dimana para suku Baduy Dalam ini bermukim, yang pertama di Kampung Cibeo, kedua di Kampung Cikertawarna dan terakhir di Kampung Cikeusik.

Baca Juga: CATAT! Inilah Daftar 5 Jenis Bansos yang Akan Cair Sebelum Idul Adha 2023

Nasa melanjutkan, tiga kampung ini masing-masing menitikberatkan pada sektor yang berbeda.

Kampung Cibeo misalnya, kampung ini lebih menitik beratkan pada sektor pertanian, sedangkan kampung Cikertawarna dan Cikeusik pada aspek pengobatan serta keagamaan / religi.

Masing-masing Kampung dipimpin oleh seorang Puun atau kepala Dusun yang diangkat berdasarkan silsilah keluarga. Bisa keturunan langsung ataupun memiliki pertalian keluarga seperti paman.

Secara visual perbedaan warga Kampung Baduy Luar dan Baduy Dalam bisa dilihat dari pakaian dan ikat kepala.

Warga Baduy Luar menggunakan pakaian adat berwarna Hitam dan ikat kepala berwarna biru. Sedangkan warga Baduy Dalam menggunakan pakaian berwarna putih atau hitam dengan ikat kepala berwarna putih.

Kaum lelaki  warga Baduy Dalam menggunakan pakaian bagian bawah bernama kain Maros yang

Dililitkan di pinggang sebagaimana penggunaan kain sarung bagi laki-laki.

Kain Maros memiliki dua warna yakni putih dan abu yang ditenun dengan motif salur. Garis salur pada kain Maros memiliki warna putih dengan ketebalan garis yang berbeda.

Konon motif salur yang berbeda-beda ini adalah untuk menandakan warga yang memiliki jabatan atau tidak di desanya.

Pernikahan Baduy

Pada usia 10 tahun antara anak laki-laki dan perempuan Baduy Dalam sudah  dijodohkan dengan pasangan yang menurut calon besan dirasakan cocok untuk disatukan menjadi sepasang suami istri kelak setelah mereka dewasa.

Namun jika laki-laki ataupun perempuannya merasa tidak cocok dengan pilihan kedua orang tuanya, mereka bisa saja menolak dengan halus sebelum tiba masa lamaran.

Jika keduanya cocok, maka sang calon menantu lelaki harus melalui masa test oleh calon mertua dengan diuji bagaimana dia bisa melakukan tugas layaknya seorang kepala rumah tangga seperti mengambil kayu bakar, beternak lebah, menggarap kebun dan pekerjaan Berat lainnya.

Proses pernikahan di kampung Baduy Dalam dilalui dalam tiga tahap dari mulai penyembelihan ayam hingga acara seserahan.

Baca Juga: Gagal SNBT, Kemnaker Buka Kesempatan Kuliah Gratis di Polteknaker

Pernikahan dipimpin oleh seorang Puun  bukan oleh seorang penghulu sebagaimana terjadi pada kebiasaan kita.

Fungsi penghulu di suku Baduy adalah mengurus  proses pemakaman  dan pemeliharaan  warga yang meninggal di sana.

Setelah resmi menikah, selama waktu 40 hari pasangan warga Baduy Dalam yang baru menikah tidak boleh diperkenankan campur terlebih dahulu layaknya sepasang suami istri yang sudah sah menikah.

Mereka boleh tinggal serumah namun selama masa itu, keduanya harus menahan diri untuk tidak sering berkomunikasi apalagi tidur bersama.

Setelah 40 hari berlalu, pasangan yang baru menikah ini diperbolehkan tidur bersama, namun malam pengantin mereka harus keluar dari rumah. Biasanya mereka memilih tidur di malam ke 41 di tempat khusus seperti saung di dekat ladang atau tempat lainnya.

Meski kampung Baduy Dalam sudah dibuka untuk Warga Negara  Indonesia untuk mengetahui kebiasaan hidup mereka sehari-hari namun tidak sepanjang bulan wisatawan bisa berkunjung ke Baduy dalam.

Wisatawan Tidak bisa masuk ke kawasan Baduy pada saat ritual Kawalu Selama tiga bulan dama setiap tahunnya.

Warga Baduy Dalam tidak mempergunakan penghitungan kalender Masehi seperti kita. Mereka punya aturan sendiri dalam menentukan penanggalan.

Baca Juga: PILGUB JABAR 2024: Suara Pemilih Akan Terpecah Jika 3 Figur Kuat Ini Mencalonkan Diri, SIAPA MEREKA?

Mencapai kawasan baduy dalam Tidak mudah, wisatawan harus menebusnya dengan berjalan kaki selama 4-5 jam melalui trek yang curam dan berliku.

Belum lagi jika hujan turun, sudah hampir dipastikan jalanan menjadi licin hingga perjalanan bertambah lama.

Namun semua itu terbayar jika kita sudah sampai di depan halaman rumah mereka.

Sebuah kehidupan yang bagi kita teras berat, masih dilakukan dan dikerjakan oleh warga Baduy dengan penuh ketulusan, kepatuhan dan simbol kehidupan yang cinta damai.

Sebuah pandangan bagi kita bahwa mereka hidup dalam kesederhanaan. Namun faktanya mereka menolak bantuan dalam bentuk apapun untuk warganya.

Mereka memiliki prinsip gotong royong yang kuat, sikap guyub yang kental dan tak memiliki persaingan apapun dengan tetangganya. Itulah alasan kenapa mereka tidak pernah cekcok satu sama lainnya.***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Liputan

Tags

Terkini

Terpopuler