Menurut konstitusi di Indonesia sebuah pembahasan RUU adalah proses bersama DPR dan Presiden, ada dua pihak terlibat, jadi tidak bisa mengandai-andai itu bisa diselesaikan oleh DPR.
Kemudian tentang metode partisipasi. Pelibatan seluruh stakeholder penting untuk memastikan kualitasnya.
Dengan banyaknya stakeholder yang terlibat itu artinya basis bukti, basis pengetahuan yang jadi rujukan tersedia. Kemudian itu bisa jadi rujukan bagi anggota DPR ketika melakukan pembahasan RUU tersebut.
Baca Juga: Pesona Yosef Hidayah, Inilah Profil dan Biodata Saksi Kunci Kasus Subang yang Sukses Taklukan 2 Hati
“Ketika seluruh stakeholder terlibat dalam pembahasan RUU, potensi atau resiko bahwa RUU itu hasilnya akan memberikan dampak negatif dari salah satu stakeholder,itu juga diminimalisir karena semua kepentingan itu bisa dinegosiasi, didialogkan dalam pembahasan RUU tersebut ” terang Wahyudi.
Dia mencontohkan RUU TPKS yang melibatkan berbagai stakeholder terkhusus masyarakat sipil. Ketika disahkan menjadi UU TPKS, publik mengapresiasi dan menjadi contoh model penyusunan RUU yang kolaboratif.
Sementara, produk legislasi semacam UU Minerba, UU Cipta Karya dan UU KPK yang diuji di Mahkamah Konstitusi. “Berakhirnya pengesahan RUU yang dengan judicial review di Mahkamah Konstitusi, Ini berarti ada persoalan pada konteks pembahasan substantif RUU tersebut,” kata Wahyudi.
Sedangkan terkait dengan penyusunan prolegnas di DPR, Wahyudi mengatakan DPR bisa melihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN).
“Berdasarkan pada rencana pembangunan tersebut kemudian disusun program legislasi nasional.“ Kata Wahyu. Artinya memang legislasi yang dihadirkan betul-betul sesuai kebutuhan, evidence base, didukung oleh bukti pengetahuan karena memang dibutuhkan untuk mengoptimalkan pembangunan jangka menengah, yang juga disepakati dalam RJPMN.