Mengenang Tradisi 'Nganteuran' Menjelang Lebaran di Jawa Barat yang Hampir Punah

- 31 Maret 2024, 07:30 WIB
Arsip foto - Tradisi “nganteuran” menjelang Idul Fitri atau Lebaran yang masih tersisa di sebuah desa di Jawa Barat.
Arsip foto - Tradisi “nganteuran” menjelang Idul Fitri atau Lebaran yang masih tersisa di sebuah desa di Jawa Barat. /Istimewa/

DESKJABAR – Tak terasa hari kemenangan Idul Fitri 1445 H atau Lebaran Idul Fitri 2024 sebentar lagi akan tiba. Tentu saja, Hari Kemenangan bagi umat muslim di seluruh dunia ini layak disambut dengan suka cita.

Suka cita itu kerap diekspresikan dengan berbagai tradisi yang tidak jarang sangat unik namun kental dengan nuansa kebersamaan dan secara turun temurun selalu dilakukan setiap menyambut lebaram.

Setiap menjelang lebaran pula ada anekdot lucu yang mengatakan bahwa harus hati-hati dengan Khong Guan palsu. Pasalnya, isinya bukan biskuit tapi rangginang atau opak.

Dulu di era orang tua kita masih muda atau di zaman kakek nenek kita masih hidup, setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri ada tradisi di kalangan umat muslim Indonesia yang mewarnainya.

Baca Juga: 3 Mantan Kepala Daerah, Mantan Jederal, Politikus dan Artis Cantik Akan Bertarung di Pilgub Jabar 2024

Baca Juga: Megawati dan Prabowo Disebut Pengamat UGM dan Unpad Ada Kemungkinan Bertemu

Di Jawa Barat, khususnya di daerah Cijulang Pangandaran, ada kebiasaan suka saling mengantarkan atau saling kirim makanan antar tetangga dan kerabat yang disebut “nganteuran”.

Tradisi nganteuran (artinya mengantarkan) dilakukan sehari atau dua hari sebelum hari lebaran tiba. Jenis masakannya macam-macam namun yang jelas seputar menu hidangan lebaran.

Bisa ketupat, nasi, opor ayam, semur daging sapi, sambal ati, tumis kentang, tumis bihun, hingga tumis cabe hijau, tergantung dari kemampuan orang yang mengirim makanan tersebut.

Menu makanannya diantarkan dalam wadah rantang yang disusun bertingkat antara dua hingga empat susun. Masing-masing rantang diisi untuk satu menu makanan.

Tapi bisa juga untuk makanan kering seperti tumis kentang, tumis cabe dan sambal ati disimpan dalam satu wadah. Ada juga yang menambahnya dengan cemilan rangginang atau opak.

Di wilayah pelosok pedesaan Jawa Barat dulu, entah sekarang apa masih ada, adalah suatu pemandangan yang lumrah jika menjelang lebaran banyak warga yang berjalan beriringan di pematang sawah sambil menenteng rantang hanya untuk nganteuran makanan ke rumah kerabatnya yang ada di desa sebelah.

Sudah menjadi semacam peraturan tidak tertulis pula, meski sebenarnya tidak berharap, jika seseorang mengirim makanan ke tetangga pasti akan dibalas dengan makanan pula. Alhasil wadah rantang yang digunakan untuk nganteuran tadi, pulangnya akan terisi penuh lagi oleh makanan.

Baca Juga: Raffi-Kaesang Dorong UMKM Naik Kelas, Tempati Lokasi Bergengsi BSD Tangerang Seluas 2 Hektare

Ada yang unik sekaligus menggelikan jika kebetulan sedang sakit atau malas untuk memasak menu lebaran, tapi tidak ingin ketinggalan untuk berbagi dalam tradisi nganteuran ini.

Biasanya golongan orang ini menyiasatinya dengan kiriman makanan yang datang dari tetangga si B akan diberikan lagi ke tetangga si C. Begitulah seterusnya.

Keunikan lainnya, di rumah jadi akan ada banyak terhidang makanan. Jenis menunya mungkin sama atau seragam, tapi sumbernya berbeda. Dan tentu saja kita juga bisa mencicipi dan tahu masakan tetangga yang mana yang lebih enak.

Tidak diketahui secara pasti, kapan tradisi nganteuran di kalangan warga Sunda di Jawa Barat itu mulai membudaya. Yang jelas, jika ditelaah hingga ke jantungnya benar, tradisi nganteuran ini mengandung nuansa filosifi yang begitu dalam.

Baca Juga: Pasar Pangan Murah di Jawa Barat Digelar Serentak, Senin, 1 April 2024, Cek Lokasi

Tradisi nganteuran begitu mulia, ada makna silaturahmi, gotong royong, saling membantu, saling mengasihi, dan saling berbagi rejeki antar sesama sehingga semua umat muslim bisa menikmati Hari Kemenangan Lebaran Idul Fitri dengan gembira.

Kini, tradisi lebaran yang sarat makna itu mulai terkikis tergerus waktu dan tergilas oleh zaman. Mungkin masih ada yang melakukannya tapi hanya menyisakan segelintir orang saja.

Tradisi nganteuran, kini cukup dilakukan secara digital saja, dengan melihat foto-foto ataupun video dari masakan yang dianteurkeun tersebut melalui handphone. Sayang memang.***

 

Editor: Zair Mahesa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah