Isu Kuntilanak, Pernah Heboh di Batavia, Karawang, sampai Purwakarta, SEJARAH JAWA BARAT

- 24 Februari 2021, 21:00 WIB
FOTO yang dimuat di halaman depan surat kabar terbitan Kota Rotterdam Belanda, Nieuwe Rotterdamsche Courant, terbitan 13 Februari 1928 menunjukkan masyarakat dekat Halte Pegangsaan, Batavia mengerumuni pohon yang sangat tua. Warga meyakini pohon tersebut dihuni kuntilanak yang menyembunyikan seorang anak kecil.*
FOTO yang dimuat di halaman depan surat kabar terbitan Kota Rotterdam Belanda, Nieuwe Rotterdamsche Courant, terbitan 13 Februari 1928 menunjukkan masyarakat dekat Halte Pegangsaan, Batavia mengerumuni pohon yang sangat tua. Warga meyakini pohon tersebut dihuni kuntilanak yang menyembunyikan seorang anak kecil.* /Dok Koninklijke Bibliotheek Delpher Belanda
 
DESKJABAR -  Bagi sebagian masya­rakat, dunia horor atau penampakan makhluk halus sering kali bukan lagi hal yang dianggap menakutkan pada masa kini.
 
Walau begitu, masyarakat ada yang percaya karena meng­aku pernah melihat, ada pula yang tak percaya karena belum pernah melihatnya. Namun isu setan kuntilanak, pernah menjadi salah satu catatan sejarah Jawa Barat, walau pun sebenarnya secara umum di Pulau Jawa.  
 
Biasanya, ada yang digambarkan sebagai kuntilanak, wanita berambut panjang, berpakaian putih, dan menye­ramkan karena punggung­nya bolong. Selain banyak dija­dikan tokoh dalam film-film horor Indonesia.  Kini sosok kuntilanak banyak menyodorkan kencleng di ruas Jalan Asia-Afrika Bandung di trotoar Jalan Asia Afrika Bandung, depan Kantor PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). 
 
Berdasarkan catatan DeskJabar, pada masa lalu, terutama zaman kolonial Belanda, pada awal abad ke-20, dari sejumlah catatan dikumpulkan dari Koninklijke Bibliotheen Delpher, Belanda, banyak masyarakat di Pulau Jawa mempercayai bahwa se­tan kuntilanak atau puntia­nak berkeliaran pada waktu-waktu tertentu.
 
 
Di Jawa Barat, isu setan kuntilak pernah menghebohkan masyarakat Karawang dan Purwakarta. Bahkan, masyarakat kota Batavia, yang saat itu masih ibukota Provinsi Jawa Barat, juga pernah heboh setan kuntilanak.  
 
Biasanya, masyarakat yang meyakini adanya kuntilanak menganggap makhluk tersebut sering bersemayam atau berdiam di antara pepohonan lebat atau tempat sepi yang rimbun. 
 
Bahkan, di kota besar pada masa-masa zaman kolonial, masyarakat kerap dihebohkan dengan adanya kuntilanak yang berkeliaran. Tercatat, heboh penampakan kuntilanak terjadi di Batavia, yang saat itu masih sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat.
 
Bahan berita
 
Hal tersebut diberitakan surat kabar, baik terbit­an Batavia maupun Belanda pada awal-awal tahun 1928 sampai tahun 1930, terutama bulan Januari dan Februari. Daerah lain yang dihebohkan adanya kuntilanak adalah di Surabaya dan Medan. Diberitakan, setan itu justru berkeliaran di kota. 
 
 
Kabar pertama muncul dari surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad terbitan Sabtu 21 Januari 1928. Surat kabar itu memunculkan foto orang pribumi berkumpul melihat pohon besar yang berumur sangat tua dekat Halte Pegangsaan, Weltevreden (kini kawasan Menteng Jakarta).
 
Orang-orang tersebut rupanya gempar dengan berita penampakan sosok kuntilanak yang bersemayam di pohon.
 
Isu kuntilanak muncul lagi sebulan kemudian. Bahkan, diberitakan surat kabar terbit­an Rotterdam Belanda, yaitu Nieuwe Rotterdamsche Courant terbitan Senin 13 Februari 1928. Berita kuntilanak di Batavia itu dijadikan berita utama pada halaman muka surat kabar itu. 
 
Diberitakan, pada hari Minggu 12 Februari pagi, wartawan surat kabar tersebut menyaksikan orang pribumi berkerumun dekat pohon rimbun berusia sangat tua, dekat Halte Pe­gangsaan. Orang-orang gempar dengan kabar lenyapnya seorang anak kecil karena digondol kuntilanak yang ber­semayam di pohon tersebut. 
 
 
Diceritakan, pada masa itu banyak yang masih percaya bahwa setan bergentayangan dalam aneka bentuk dan rupa. Diyakini, makhluk-makhluk tersebut, terutama kuntilanak sering bersema­yam di gunung, hutan, atau tempat-tempat sepi yang rimpun. Bahkan, juga masih ada di kota besar.
 
Digambarkan, kuntilanak tampilannya seorang wanita yang berambut panjang, ber­pakaian putih, dan pung­gung­nya bolong. Kesuka­an­nya adalah mencuri anak ke­cil atau bayi lalu dibawa ka­bur entah ke mana. Keba­nyak­an mereka disimpan di sebuah pohon besar berusia tua. 
 
Soal kuntilanak, dalam be­rita itu dituliskan, sebenarnya merupakan sisa kepercayaan zaman animisme yang rupanya sampai masa itu belum luntur. Kuntilanak digambarkan adalah arwah genta­yangan dari seorang wanita yang meninggal saat melahirkan. 
 
 
Himbauan ulama
 
Walau demikian, dalam situasi tersebut, surat kabar itu juga memberitakan kemun­culan seorang tokoh agama Islam atau tepatnya ulama, yang menya­yangkan kepanikan orang-orang yang meyakini adanya kuntilanak.
 
Tokoh agama Islam itu mengh­imbau, seharusnya orang-orang mencari penyebab dan membuat teori ke mana hi­langnya sang anak itu dan jangan langsung percaya kepada takhayul digondol kuntilanak. 
 
Uniknya, isu hilangnya anak dengan isu digondol kuntilanak sebulan sebelumnya juga muncul di kawasan Weltevreden. Saat itu diberitakan De Sumatra Post ter­bitan 24 Januari 1928.
 
Namun, kemudian beritanya langsung lenyap karena sang anak yang diisukan digondol kuntilanak ditemukan di Desa Salem (ki­ni Kecamatan Pondok Sa­lam), Purwakarta, yang saat itu masih termasuk Karawang. 
 
 
Kantor Berita Aneta memberitakan, misteri hilangnya sang anak yang kemudian ditemukan di Karawang masih sulit diperoleh jawaban­nya atau sulit diukur oleh nalar. Setelah ditemukan, anak tersebut segera dibawa pulang oleh orang­tuanya ke tempat tinggalnya di Jatinegara. 
 
Lain halnya di Surabaya, diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 19 Agustus 1933, di Surabaya ada kepala desa yang melacak kasus pencurian dengan menggunakan perantaraan makhluk halus yang ia yakini sebagai kuntilanak.
 
Soal riwayat pernah adanya halte atau kemudian disebut Stasiun Pegangsaan Batavia (kini Jakarta), menurut sejumlah pihak dari Kantor Pusat PT Kereta Api Indo­nesia (persero) Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, memang pernah ada sampai tahun 1989.
 
Na­mun, saat itu, disebutkan, Stasiun atau Halte Pengang­saan jalurnya sudah tak diaktifkan lagi sejak 1981. Riwa­yatnya, di dekat lokasi tersebut pernah ada pabrik opium. Bekas Stasiun Pe­gang­saan ­di­bong­kar tahun 1989 karena saat itu dilaku­kan pemba­ngun­an jalur kereta api la­yang rute Manggarai-Jakarta Kota. (Kodar Solihat/DeskJabar)***

Editor: Kodar Solihat


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x