Fitofarmaka Alternatif yang Lebih Murah untuk Penyembuhan Penyakit

- 6 Oktober 2023, 10:03 WIB
webinar series bertajuk "Fitofarmaka Bagi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Medis"
webinar series bertajuk "Fitofarmaka Bagi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Medis" /



DESKJABAR - Staf Khusus Menteri Kesehatan RI Prof Laksono Trisnantoro mengatakan, penggunaan fitofarmaka bisa menjadi salah satu alternatif yang lebih murah, seperti untuk penyembuhan penyakit hipertensi dan diabetes. Namun di Indonesia, fitofarmaka masih tergolong obat tanpa resep.

"Meski demikian, ke depannya akan sangat mungkin diharuskan memakai resep," kata Laksono pada webinar series bertajuk "Fitofarmaka Bagi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Medis", yang disiarkan melalui youtube,  Kamis 5 Oktober 2023.

Fitofarmaka adalah obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik (pada hewan percobaan) dan uji klinik (pada manusia). Fitofarmaka teruji karena bahan yang terkandung di dalamnya yaitu bahan alami yang dianggap cukup aman bagi tubuh.

Baca Juga: Badminton Indonesia Berduka di Asian Games 2022 China, Begini Kata Ginting dan Gregoria Setelah Kalah

Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menegaskan bahwa fitofarmaka bukan tergolong sebagai jamu dan obat tradisional. Sehingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mendorong agar fitofarmaka nantinya bisa ditanggung BPJS Kesehatan.

Dia mengungkapkan, industri jamu nasional saat ini diperkirakan menyentuh angka Rp 20 triliun. Dengan angka tersebut, penggunaan fitofarmaka juga berpeluang mencakup segmentasi pasar BPJS Kesehatan dan non-BPJS Kesehatan.

Dia memaparkan, di masa lalu, fitofarmaka sering diasosiasikan obat tradisional yang tidak bisa masuk ke BPJS Kesehatan. Undang-Undang ini menjadi kunci yang menegaskan hal tersebut. “Ketika Undang-Undang sudah tegas, ini memperbesar peluang fitofarmaka dalam pelayanan kesehatan, khususnya yang didanai BPJS,” ujar Prof Laksono.

Sejak 1992, Kemenkes telah mengeluarkan pedoman soal fitofarmaka. Namun 30 tahun berselang ada 26 fitofarmaka, tetapi belum ada satu pun yang masuk dalam BPJS Kesehatan. Sementara sekarang, fitofarmaka sudah termasuk pengobatan modern dengan khasiat yang sama.

Pemantapan dari dokter, khususnya yang berada di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKTRL), perlu disosialisasikan agar dapat meresepkan obat fitofarmaka kepada pasien. Sehingga penggunaan fitofarmaka dapat ditanggung oleh skema pembayaran BPJS Kesehatan.

“Kemantapan perlu dimulai sejak pendidikan di Fakultas Kedokteran, apakah ada materi terkait obat herbal? Jadi jangan sampai kita itu melihat obat herbal itu identik dengan jamu yang harus diramu sendiri. Itu jalurnya lain. Tapi ini adalah pendidikan obat herbal yang sama dengan obat lainnya,” kata Laksono.

Ia memberi contoh pada penanganan pasien kanker, bisa dibarengi dengan pemberian resep fitofarmaka. Atau pada pasien diabetes, untuk menurunkan kadar gula darah bisa juga dilakukan dengan obat fitofarmaka.

Baca Juga: Jadi Wadah Bisnis Berkesinambungan bagi UMKM, Shopee Jadi E-Commerce Terfavorit untuk Berjualan

Ke depannya, Prof Laksono berharap penggunaan fitofarmaka bisa dilakukan dengan resep. Kemudian dapat mempercepat pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya dalam rangka melakukan upaya promotif dan preventif kesehatan di masyarakat.

Sementara, Prof Dr Zakiudin Munasir, Sp. A (K) memberikan trik bijak menggunakan obat non kimia seperti herbal yang sifatnya imunomodulator. Menurut dia, perkembngan sistem imun paling cepat berkembang pada usia 1 tahun.

"Percuma diberikan pada bayi, karena sistem imun belum sempurna dirangsang bagaimana pun sistemnya belum terbentuk. Ada yang diberikan terus menerus malah tidak tepat," katanya.

Prof Zaki berpesan agar kita jangan terlalu percaya sebelum memastikan fitofarmaka juga herbal harus dicari yang sudah diteliti manfaat dan keamanannya. "Walau obat baik kalau cara makai tak baik jadi tak bermanfaat kan," ujarnya.

Imunomodulator kerap disalahgunakan dan dianggap seperti vitamin atau suplemen. Padahal, pemakaian yang tidak tepat justru dapat merugikan tubuh yakni merangsang timbulnya alergi.***

Editor: Yedi Supriadi


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x