Pada Tahun 1641, sesuai dengan laporan Juliaen de Silva yang menggunakan bahasa Belanda kuno menuliskan jika di Bandung terdapat rumah penduduk antara 25 sampai 30 rumah saja.
Kondisi Bandung pada zaman dulu benar benar terisolir dan bukan daerah pemukiman penduduk seperti Cianjur, Jakarta, Tasikmalaya dan Ciamis. Tetapi benar benar sebuah hutan belantara.
Untuk menuju ke Bandung pada zaman dulu sama sekali tidak ada akses jalan darat, termasuk tidak ada akses jalan setapak pun untuk sekedar jalan kaki atau jalan untuk berkuda.
Jalan satu satunya ke Bandung pada zaman dulu hanya melalui jalur sungai yakni sungai Citarum dan sungai Cimanuk dengan menggunakan perahu atau pun rakit.
Jadi ketika ingin pergi ke Bandung harus melalui jalur sungai Cimanuk dan sungai Citarum dengan harus ekstra hati-hati karena penuh dengan bahaya.
Makanya pada abad ke 16, wilayah Bandung sangat terisolir jika dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat yang pada saat itu sudah mengalami kemajuan dan menjadi tempat permukiman penduduk.
Baru pada abad ke 17, sekitar tahun 1786, akses jalan setapak yang menghubungkan Bandung Cianjur Bogor dan Jakarta mulai dibangun.
Jalan setapak yang dibangun tersebut bisa dilalui oleh kuda dan juga sebagai jalan darat bagi para pejalan kaki. Warga yang mau ke Bandung sudah bisa menggunakan jalan darat dengan jalan kaki.
Haryoto Kunto dalam bukunya yang berjudul Bandoeng Tempo Doeloe menjelaskan akses jalan setapak menuju Bandung baru dibangun pada abad ke 17 atau tepatnya pada tahun 1786.