Ini Alasan DPR Agar PMK Pajak Pulsa dan Token Ditinjau Ulang

- 30 Januari 2021, 21:41 WIB
Anggota DPR Heri Gunawan meminta PMK tentang pajak pulsa dan token ditinjau ulang
Anggota DPR Heri Gunawan meminta PMK tentang pajak pulsa dan token ditinjau ulang /ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/

 

DESKJABAR - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan meminta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penarikan pajak pulsa dan token, kartu perdana, dan voucher, ditinjau ulang karena akan membebani rakyat.

Menurut Heri Gunawan, saat ini rakyat masih dibelit kesulitan menghadapi pandemi Covid-19. Tidak semestinya aturan yang sangat bersentuhan dengan kebutuhan rakyat kecil ini dikeluarkan, walau pemerintah sudah mengucurkan stimulus.

Heri Gunawan mengemukakan bahwa penerapan PMK tenantang pajak pulsa dan token yang akan berlaku mulai 1 Februari 202 itu momennya tidak tepat.

Baca Juga: Saatnya Indonesia Terapkan Lockdown Bukan PPKM, Simak Alasannya

“Ingat, tidak semua rakyat menikmati dana stimulus tersebut. Apalagi, belum ada pemutakhiran data kemiskinan, sehingga masih banyak rakyat miskin tak tersentuh dana bantuan sosial pemerintah,” tuturnya di Jakarta Sabtu 30 Januari 2021 seperti dikutip dari laman dpr.go.id.

“Jadi, tidak saja momentumnya yang tidak tepat, PMK tersebut juga kian menjerat rakyat miskin pada keterpurukan sosial dan ekonomi,” tuturnya.

Untuk itu, Heri meminta agar PMK pajak pulsa dan token tersebut ditinjau ulang, karena akan membebani rakyat.

Baca Juga: Untuk Mengatasi Krisis Pemain Lini Pertahanan Liverpool, Pemain Ini Jadi Incaran Klopp

Heri menambahkan, pemerintah sedang menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Jawa dan Bali, plus Pemerintah Provinsi Jakarta juga memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

“Masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik dalam rangka WFH (work from home) dan belajar daring," paparnya.

Heri memahami, pendapatan pajak anjlok di tahun 2020. Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp1.070 triliun meleset dari target APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp1.198,8 trilun atau hanya terealisasi 89,3 persen saja. Namun, bukan berarti itu menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token dan voucher.

Baca Juga: NU Pun Gerah Terhadap Abu Janda : Banyak Menimbulkan Kerusakan

Meskipun pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak tersebut hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, namun tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen.

Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga Rp1.000 hingga Rp2.000. Misalnya, ia mencontohkan, membeli pulsa Rp10.000, maka konsumen akan dikenakan harga Rp12.000.

“Kita tidak ingin nanti setelah pemberlakukan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp13.000 untuk pembelian pulsa Rp10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat,” ujarnya.

Baca Juga: Kru Sriwijaya Air Antar Jasad Kapten Afwan ke Tempat Peristirahatan Terakhir

Di sisi lain, Hergun melihat, pungutan pajak token listrik ini sangat lucu. Dulu pemerintahlah yang memaksa rakyat bermigrasi dari model pembayaran pascabayar ke model prabayar atau token.

Saat ini mayoritas konsumen PLN sudah menggunakan model prabayar. Namun, bila saat ini tiba-tiba pembelian token akan dipungut pajak, itu artinya pemerintah telah menjebak rakyat.

“Pemerintah mestinya berterima kasih kepada rakyat yang sudah berkonstribusi terhadap pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi selama pandemi. Sektor infokom mampu menjaga pertumbuhan positif saat sektor-sektor lain mengalami konstraksi,” paparnya. ***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: DPR RI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah