DESKJABAR – Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025 disambut baik oleh industri rokok yang tengah menghadapi tekanan dari berbagai kebijakan baru. Keputusan ini dinilai dapat memberi ruang bagi industri untuk bertahan di tengah rencana penerapan aturan kemasan polos tanpa merek dan regulasi lain yang menantang.
Baca Juga: Hingga September 2024, KAI Go Green Telah Tanam 5.216 Pohon, Anne : Target 1 Juta Pohon Pada 2041
Pemerintah Tidak Naikkan Cukai Tembakau 2025: Industri Rokok Mendapat Ruang Bernapas di Tengah Regulasi Ketat
Pemerintah telah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025, suatu kebijakan yang diharapkan dapat memberikan napas segar bagi industri hasil tembakau di Indonesia. Keputusan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, dan menjadi kabar baik di tengah tantangan berat yang dihadapi oleh industri, termasuk aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang sedang digodok.
"Untuk tahun 2025, kebijakan penyesuaian tarif CHT belum akan dilakukan. Ini merupakan keputusan yang diambil setelah pembahasan panjang bersama DPR terkait APBN 2025," ungkap Askolani.
Fokus pada Downtrading dan Alternatif Penyesuaian Harga
Meski tarif CHT tidak naik, Askolani menjelaskan bahwa pemerintah akan fokus menangani fenomena downtrading, yaitu peralihan konsumsi rokok dari produk premium ke produk yang lebih murah. Fenomena ini dikhawatirkan dapat menekan penerimaan cukai jika konsumen terus beralih ke produk dengan cukai lebih rendah. Untuk itu, pemerintah berencana mengeluarkan alternatif kebijakan dengan menyesuaikan Harga Jual Eceran (HJE) di tingkat industri guna menjaga stabilitas penerimaan negara dari cukai.
"Upaya penyesuaian HJE ini diharapkan dapat membantu mencegah dampak negatif dari downtrading terhadap penerimaan negara," tambahnya.
Industri Tembakau Masih Hadapi Tantangan Berat
Meskipun kebijakan tidak menaikkan cukai ini memberikan napas bagi industri tembakau, tantangan besar masih membayangi. Salah satunya adalah rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diusulkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes). Aturan ini dipandang berpotensi menghambat pengawasan dan membedakan antara produk legal dan ilegal, yang pada akhirnya bisa memengaruhi penerimaan negara.
"Kemasan polos membuat kita sulit membedakan jenis rokok, dan ini akan mempersulit pengawasan serta menambah risiko munculnya produk ilegal," ujar Askolani. Kemenkeu sendiri telah memberikan masukan kepada Kementerian Kesehatan agar mempertimbangkan kembali aspek pengawasan dan dampak ekonomi dari kebijakan ini.
Risiko Ekonomi: Skenario INDEF tentang Dampak Kebijakan
Selain tantangan dari aturan kemasan polos, sejumlah skenario risiko ekonomi juga telah dipaparkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, menjelaskan bahwa penerapan PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes berpotensi menimbulkan dampak ekonomi yang cukup signifikan.
Skenario pertama menyebutkan bahwa aturan kemasan polos dapat memicu peningkatan konsumsi rokok ilegal hingga 42,09%, yang dapat menyebabkan hilangnya pendapatan ekonomi senilai Rp182,2 triliun dan penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp95,6 triliun.