Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek: Solusi yang Kontroversial, Beban Berat Bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Tayang: 30 September 2024, 09:00 WIB
Penulis: Yedi Supriadi
Editor: Tim Desk Jabar
Ilustrasi rokok.
Ilustrasi rokok. /Freepik/jcomp/

DESKJABAR - Rencana Kementerian Kesehatan untuk menerapkan aturan kemasan rokok polos tanpa merek, sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, menuai protes keras. Kebijakan yang diharapkan mampu menekan prevalensi merokok ini justru dinilai berpotensi menjadi bumerang bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru menjabat, baik dari aspek ekonomi, sosial, hingga politik. Pakar kebijakan publik Universitas Airlangga, Gitadi Tegas Supramudyo, menilai kebijakan ini minim kajian multidisiplin, sehingga rentan menimbulkan masalah baru yang kompleks.

Baca Juga: Alasan Shin Tae-yong Belum Tertarik Membawa Striker Jens Raven ke Timnas Senior, Meski Sudah Cetak 7 Gol

Pendekatan Tunggal, Potensi Polemik yang Tinggi Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang disusun oleh Kementerian Kesehatan memicu kontroversi lantaran hanya mempertimbangkan aspek kesehatan tanpa mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi yang lebih luas. Gitadi Tegas Supramudyo, pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga, menyebut bahwa perumusan kebijakan ini cenderung sepihak dan berisiko menghadapi resistensi dari banyak kalangan.

“Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek hanya dilihat dari perspektif kesehatan, padahal dampaknya lebih luas. Kita butuh pendekatan multidisiplin agar kebijakan tersebut bisa diterima semua pihak dan tidak menimbulkan masalah baru,” ujar Gitadi.

Ia menekankan pentingnya kajian komprehensif dalam perumusan kebijakan publik, terutama terkait industri strategis seperti tembakau yang menyangkut hajat hidup banyak pihak. Ketika sebuah kebijakan hanya didasarkan pada satu perspektif, tanpa memikirkan dimensi ekonomi dan sosial, resistensi yang muncul hampir tidak bisa dihindari.

Tantangan Berat Bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran Pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru terpilih juga diperkirakan akan menghadapi beban berat untuk mengeksekusi atau bahkan mengevaluasi kebijakan ini. Menurut Gitadi, jika aturan ini diberlakukan tanpa persiapan matang, pemerintahan baru akan terpaksa 'mundur selangkah' untuk merumuskan ulang kebijakan yang sudah menimbulkan kegaduhan.

"Jika pemerintah bersikeras menerapkan aturan ini, mereka harus siap menghadapi penolakan besar-besaran. Tidak menutup kemungkinan aturan ini akan memicu masalah ekonomi baru, dan pemerintah harus melakukan pemetaan ulang dampaknya terhadap berbagai sektor," tambah Gitadi.

Lebih lanjut, ia menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan beberapa target besar yang diusung oleh pemerintahan baru, seperti target penerimaan negara dari cukai yang cukup tinggi, yaitu mencapai tax ratio sebesar 23%. Dengan aturan kemasan polos, kemampuan industri tembakau dalam menyumbang penerimaan dari cukai justru akan terganggu.

Rokok Ilegal dan Hilangnya Penerimaan Negara Salah satu dampak signifikan dari penerapan kemasan polos tanpa merek adalah potensi peningkatan peredaran rokok ilegal. Dalam skenario tersebut, rokok bermerek—yang umumnya dikenakan cukai—berpotensi kehilangan pangsa pasar karena digantikan oleh rokok ilegal yang lebih murah dan mudah didapatkan. Kebijakan ini, bukannya mengurangi konsumsi, malah berpotensi menggeser konsumen ke produk ilegal.

"Jika rokok bermerek tidak lagi bisa membedakan diri dari produk lainnya karena aturan kemasan polos, rokok ilegal akan makin leluasa merangsek pasar. Ini tidak hanya merugikan industri, tetapi juga negara yang kehilangan potensi penerimaan cukai," terang Gitadi.

Dengan target penerimaan cukai yang tinggi, kebijakan ini seakan menjadi kontraproduktif terhadap upaya peningkatan tax ratio. Negara berisiko kehilangan sumber penerimaan penting, sementara peredaran rokok ilegal malah meningkat tanpa kontrol.

Dampak Sosial-Ekonomi: PHK dan Pengangguran Meluas Selain permasalahan terkait cukai, dampak ekonomi yang paling mencolok dari kebijakan ini adalah hilangnya kesempatan kerja di sektor pertembakauan. Industri tembakau, yang selama ini melibatkan jutaan tenaga kerja dari hulu ke hilir, berpotensi mengalami penurunan yang signifikan akibat kemasan polos tanpa merek.

Perusahaan yang kehilangan kemampuan branding akan sulit bertahan dalam iklim kompetitif. Penurunan penjualan akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga menambah beban pengangguran. Dampak ini bertentangan dengan janji kampanye Prabowo-Gibran yang berkomitmen menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan baru.

"Dengan menurunnya pendapatan perusahaan tembakau akibat hilangnya daya tarik branding, PHK tidak terelakkan. Ini jelas tantangan besar bagi pemerintahan yang baru, terutama untuk menjaga stabilitas sosial-ekonomi," kata Gitadi.

Minim Partisipasi Bermakna dan Evaluasi Dampak Regulasi Kritik lain yang dilontarkan Gitadi adalah soal proses penyusunan kebijakan yang dianggap minim partisipasi bermakna dari berbagai pemangku kepentingan. Kebijakan yang berdampak luas seperti kemasan rokok polos harusnya membuka ruang dialog dengan industri, asosiasi petani, hingga para pakar ekonomi dan sosial untuk mempertimbangkan berbagai aspek.

“Kemenkes sepertinya kurang memperhatikan partisipasi pemangku kepentingan yang sebenarnya sangat relevan. Tanpa partisipasi yang cukup, kebijakan ini cenderung sepihak dan menimbulkan resistensi tinggi,” ucapnya.

Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini tidak didukung oleh Regulatory Impact Assessment (RIA) atau penilaian dampak regulasi yang seharusnya menjadi dasar dari setiap aturan yang mengubah tatanan industri. Tanpa RIA, dampak-dampak yang muncul cenderung tidak terukur dan berpotensi merugikan berbagai pihak.

Solusi Alternatif dan Saran Kebijakan Gitadi mengusulkan pendekatan lain yang lebih efektif dan diterima banyak pihak daripada hanya fokus pada kemasan polos tanpa merek. Menurutnya, program edukasi mengenai bahaya rokok dan penerapan harga jual minimal bisa lebih efektif untuk menurunkan angka perokok.

Baca Juga: Lolos ke Piala Asia U 20 2025 di China, Indra Sjafri : Indonesia Akan Tambah 3 Pemain Naturalisasi

“Pemerintah bisa lebih fokus pada pendekatan edukatif, seperti meningkatkan kesadaran akan bahaya merokok melalui kampanye publik, atau menetapkan harga jual minimum yang bisa mengurangi aksesibilitas rokok bagi anak muda. Ini lebih efektif dan minim resistensi,” saran Gitadi.

Ia juga menyebut bahwa kebijakan terkait tembakau sebaiknya diiringi dengan insentif bagi petani tembakau untuk beralih ke komoditas alternatif yang lebih sehat dan ramah lingkungan, sehingga tidak hanya menciptakan beban baru bagi masyarakat yang terlibat di sektor tersebut.***


Tags

Terkini

Trending

Berita Pilgub