DESKJABAR - Rencana Kementerian Kesehatan untuk menerapkan aturan kemasan rokok polos tanpa merek, sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, menuai protes keras. Kebijakan yang diharapkan mampu menekan prevalensi merokok ini justru dinilai berpotensi menjadi bumerang bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru menjabat, baik dari aspek ekonomi, sosial, hingga politik. Pakar kebijakan publik Universitas Airlangga, Gitadi Tegas Supramudyo, menilai kebijakan ini minim kajian multidisiplin, sehingga rentan menimbulkan masalah baru yang kompleks.
Pendekatan Tunggal, Potensi Polemik yang Tinggi Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang disusun oleh Kementerian Kesehatan memicu kontroversi lantaran hanya mempertimbangkan aspek kesehatan tanpa mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi yang lebih luas. Gitadi Tegas Supramudyo, pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga, menyebut bahwa perumusan kebijakan ini cenderung sepihak dan berisiko menghadapi resistensi dari banyak kalangan.
“Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek hanya dilihat dari perspektif kesehatan, padahal dampaknya lebih luas. Kita butuh pendekatan multidisiplin agar kebijakan tersebut bisa diterima semua pihak dan tidak menimbulkan masalah baru,” ujar Gitadi.
Ia menekankan pentingnya kajian komprehensif dalam perumusan kebijakan publik, terutama terkait industri strategis seperti tembakau yang menyangkut hajat hidup banyak pihak. Ketika sebuah kebijakan hanya didasarkan pada satu perspektif, tanpa memikirkan dimensi ekonomi dan sosial, resistensi yang muncul hampir tidak bisa dihindari.
Tantangan Berat Bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran Pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru terpilih juga diperkirakan akan menghadapi beban berat untuk mengeksekusi atau bahkan mengevaluasi kebijakan ini. Menurut Gitadi, jika aturan ini diberlakukan tanpa persiapan matang, pemerintahan baru akan terpaksa 'mundur selangkah' untuk merumuskan ulang kebijakan yang sudah menimbulkan kegaduhan.
"Jika pemerintah bersikeras menerapkan aturan ini, mereka harus siap menghadapi penolakan besar-besaran. Tidak menutup kemungkinan aturan ini akan memicu masalah ekonomi baru, dan pemerintah harus melakukan pemetaan ulang dampaknya terhadap berbagai sektor," tambah Gitadi.
Lebih lanjut, ia menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan beberapa target besar yang diusung oleh pemerintahan baru, seperti target penerimaan negara dari cukai yang cukup tinggi, yaitu mencapai tax ratio sebesar 23%. Dengan aturan kemasan polos, kemampuan industri tembakau dalam menyumbang penerimaan dari cukai justru akan terganggu.
Rokok Ilegal dan Hilangnya Penerimaan Negara Salah satu dampak signifikan dari penerapan kemasan polos tanpa merek adalah potensi peningkatan peredaran rokok ilegal. Dalam skenario tersebut, rokok bermerek—yang umumnya dikenakan cukai—berpotensi kehilangan pangsa pasar karena digantikan oleh rokok ilegal yang lebih murah dan mudah didapatkan. Kebijakan ini, bukannya mengurangi konsumsi, malah berpotensi menggeser konsumen ke produk ilegal.