DESKJABAR - Rencana Kemenkes untuk menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek dinilai dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan potensi kerugian triliunan rupiah bagi negara.
Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menerapkan standardisasi kemasan rokok polos tanpa merek terus menuai kritik dari kalangan ekonom. Kebijakan ini tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes), sebagai aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, mengungkapkan potensi dampak ekonomi yang akan hilang dari tiga skenario kebijakan terkait industri tembakau—yaitu penerapan kemasan rokok polos, larangan penjualan dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan, dan pelarangan iklan—dapat mencapai Rp308 triliun. Selain itu, penerimaan perpajakan dari cukai rokok berpotensi menurun hingga Rp160,6 triliun.
“Akibat dari kemasan rokok polos tanpa merek adalah terjadinya downtrading, karena tidak ada lagi pemisahan rokok ilegal dan legal. Rokok ilegal akan lebih mudah dipalsukan dengan hanya mengubah font dan desain kemasan. Ini dapat mengakibatkan penerimaan negara dari cukai rokok berkurang secara signifikan,” ujar Andry dalam diskusi Hotroom "Aturan Baru Tembakau, Bikin Kacau?" di Metro TV (25/09).
Selain itu, Andry juga mengkritisi aturan zonasi penjualan rokok yang melarang penjualan dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan. Ia menyebut bahwa aturan tersebut belum jelas mendefinisikan satuan pendidikan yang dimaksud, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan potensi pungutan liar bagi para pelaku usaha.
“Ketidakjelasan aturan ini akan menyebabkan rokok ilegal semakin mudah diperoleh, terutama penjualan ketengan yang tidak terkendali. Dampak ekonomi yang timbul bisa mengganggu stabilitas pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo-Gibran, terutama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%,” tambahnya.
Ia juga menyebutkan bahwa potensi kehilangan penerimaan negara dapat mencapai lebih dari Rp200 triliun, terutama dari hilangnya penerimaan cukai hasil tembakau. Andry menegaskan bahwa Kemenkes seharusnya mengajak berbagai pihak untuk berunding terlebih dahulu sebelum memberlakukan aturan ini. "Kita ini negara hukum, seharusnya segala kebijakan harus sesuai dengan hukumnya dan melibatkan semua pihak terkait," ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi, juga menyoroti bahwa regulasi ini dapat meningkatkan jumlah rokok ilegal yang sudah merugikan negara triliunan rupiah. Ia meminta agar PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes direvisi, mengingat banyak kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian belum dilibatkan dalam penyusunan kebijakan ini.
"Untuk masalah kesehatan, kami sepakat, namun regulasi ini tidak bisa hanya mempertimbangkan aspek kesehatan saja. Harus ada keseimbangan dengan aspek ekonomi, sehingga kebijakan ini bisa dipertanggungjawabkan dan tidak menimbulkan kerugian bagi banyak pihak," tegas Benny.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey, menyatakan bahwa aturan zonasi larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan aturan kemasan polos dapat mengurangi omzet penjualan hingga Rp48 triliun. Selain itu, Roy juga menyoroti potensi munculnya oknum yang memanfaatkan ketidakjelasan aturan untuk memeras pelaku usaha.
“Aturan ini harus jelas bagaimana cara menghitung jarak larangan zonasi 200 meter, agar tidak menimbulkan kesewenang-wenangan di lapangan. Kami juga memikirkan untuk melakukan judicial review jika kebijakan ini benar-benar diberlakukan, karena dampaknya sangat memukul perekonomian pelaku usaha kecil dan menengah,” tegas Roy.
Roy juga mengingatkan pentingnya mitigasi risiko dari penerapan kebijakan ini dan meminta adanya sosialisasi yang memadai dari pemerintah sebelum kebijakan dijalankan. Ia menekankan bahwa perumusan aturan harus melibatkan seluruh pihak yang terkena dampak dan tidak hanya berfokus pada aspek kesehatan.***