DESKJABAR – Pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 sebagai turunan dari Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 menuai apresiasi dari publik karena dianggap mampu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Aturan baru ini memberikan jaminan perlindungan terhadap kesehatan masyarakat serta mendorong penerapan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Namun, tantangan besar di sektor kesehatan bayi dan anak masih menyisakan kekhawatiran, terutama terkait dengan keamanan pemberian susu formula.
Baca Juga: Asiik, Naik KA Argo Parahyangan, KA Pangandaran dan 3 Kereta Ini Cuma Bayar 79 Persen
Menurut Piter Abdullah Redjalam, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 merupakan langkah maju yang mempertegas kehadiran negara dalam menjamin kesehatan rakyat. “PP No. 28 Tahun 2024 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata, aman, efisien, dan terjangkau. Namun, tantangan dalam implementasi peraturan ini tetap ada,” ungkap Piter dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Piter menekankan bahwa meski PP No. 28 memberikan kepastian hukum, aturan ini masih menimbulkan potensi kebingungan di tengah masyarakat, khususnya dalam hal edukasi kesehatan dan dampaknya terhadap sektor ekonomi. “PP ini memang memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha di sektor kesehatan, tetapi di sisi lain, bisa menciptakan kebingungan di masyarakat terkait pemberian susu formula, khususnya bagi bayi usia 0-6 bulan,” tambahnya.
Pemberian ASI Eksklusif dan Peran Susu Formula
Salah satu sorotan dalam PP No. 28 Tahun 2024 adalah ketentuan yang menyatakan setiap bayi berhak memperoleh ASI eksklusif sejak lahir hingga usia 6 bulan, kecuali ada indikasi medis. Piter menegaskan bahwa pengecualian ini sudah sesuai dengan International Code of Marketing of Breast-Milk Substitutes (WHO Code), yang juga mengakui bahwa susu formula dapat menjadi pengganti ASI dalam kondisi medis tertentu.
“PP No. 28 Tahun 2024 menegaskan bahwa susu formula dapat digunakan ketika ASI eksklusif tidak dapat diberikan dan donor ASI tidak tersedia. Ini merupakan bentuk validasi bahwa susu formula aman bagi bayi,” ujar Piter.
Indonesia dianggap cukup berhasil dalam mengimplementasikan WHO Code terkait pengaturan perdagangan susu formula. Pada tahun 2020, pencapaian Indonesia mencapai 50% implementasi, lebih baik dibandingkan rata-rata kawasan Asia yang sebesar 41%, dan jauh di atas rata-rata global yang hanya 11%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan susu formula di Indonesia tetap berjalan dengan baik tanpa menghambat upaya pemberian ASI eksklusif.
Edukasi Nutrisi dan Tantangan Penurunan Stunting
Selain ASI eksklusif, tantangan lain yang dihadapi adalah angka prevalensi stunting yang masih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meski angka pemberian ASI eksklusif meningkat dari 68,84% pada 2020 menjadi 73,9% pada 2023, penurunan prevalensi stunting berjalan lambat, hanya turun 0,1% dari 21,6% pada 2022 menjadi 21,5% pada 2023.
Piter Abdullah menekankan pentingnya penciptaan kondisi yang mendukung pemberian ASI eksklusif, seperti ruang laktasi di kantor dan ruang publik, serta akses informasi nutrisi bagi bayi. “Kita perlu mempercepat penurunan angka stunting. Salah satunya adalah dengan meningkatkan akses terhadap nutrisi dan produk-produk kesehatan bayi, termasuk susu formula yang aman,” jelasnya.