DESKJABAR - Kasus korupsi pengelolaan dua unit bus wisata TAMPOMAS yang melibatkan Ketua DPC Organda Kabupaten Sumedang, Diki Suharto bin Diat Sudrajat, semakin memanas. Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, pada Senin, 30 September 2024, salah satu saksi yang dihadirkan mengalami stres akibat pertanyaan yang dilontarkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Baca Juga: HUT Ke-79 KAI : Daop 2 Bandung Bareng Instansi Kesehatan Gelar Gebyar Festival Kesehatan
Diki Suharto didakwa telah menyalahgunakan aset pemerintah berupa dua unit bus wisata berplat merah untuk memperkaya diri sendiri. Kasus ini bermula pada tahun 2022 ketika Diki mengoperasikan dua unit bus TAMPOMAS, yaitu D 7410 C (warna coklat) dan D 7422 C (warna ungu), secara komersial tanpa izin resmi. Diki menetapkan tarif sewa Rp1.200.000 per hari untuk hari kerja dan Rp1.400.000 per hari untuk akhir pekan, serta menerima uang muka dari penyewa yang langsung dibayarkan di kantor DPC Organda. Total kerugian negara akibat tindakan Diki diperkirakan mencapai Rp686.600.000.
Jaksa Penuntut Umum, Agung Adhi Prawira, mendakwa Diki dengan Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Aset pemerintah yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan sektor pariwisata di Sumedang, justru dimanfaatkan secara pribadi oleh Diki Suharto untuk kepentingan komersial, tanpa izin dan tidak melibatkan pemerintah daerah.
Pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung tersebut, hadir tiga saksi, yaitu Sule sebagai Kepala Dinas UPTD Kabupaten Sumedang, Jajang sebagai Kepala Bidang Angkutan UPTD Kabupaten Sumedang, dan Agus sebagai Bendahara UPTD Kabupaten Sumedang. Majelis hakim yang diketuai oleh Agus Komaarudin menanyakan kondisi kesehatan para saksi sebelum mendengarkan kesaksian.
"Saya ingin memastikan, apakah saudara saksi semuanya dalam kondisi sehat?" tanya hakim Agus Komarudin.
Ketiga saksi, termasuk Sule, memberikan isyarat menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa mereka dalam kondisi baik. Namun, setelah beberapa pertanyaan yang dilontarkan Jaksa Penuntut Umum terkait keberadaan dua bus berplat merah tersebut, Sule tampak mulai kewalahan. Pertanyaan yang diajukan oleh JPU dengan metode zig-zag membuat Sule kehilangan konsentrasi dan terlihat cemas.
Majelis hakim mencoba menenangkan Sule dengan memintanya menarik napas perlahan dan memberikan instruksi untuk tetap tenang. Namun, kondisi Sule semakin memburuk hingga sidang terpaksa dihentikan sementara. Petugas pengadilan segera memberikan air minum kepada Sule dan berusaha menenangkannya, tetapi kondisinya semakin tidak stabil, ditandai dengan tubuh yang berkeringat dan menggigil.
Karena situasi yang mengkhawatirkan, petugas akhirnya membawa Sule keluar dari ruang sidang menggunakan kursi roda. Saksi terlihat pucat dan tubuhnya bergetar. Melihat kondisi tersebut, Jaksa Penuntut Umum meminta izin kepada majelis hakim agar saksi Sule dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis.
"Izin majelis, kami meminta agar saksi Sule jangan dulu dihadirkan dan harus dibawa ke rumah sakit," kata Jaksa Penuntut Umum.
Majelis hakim menyetujui permintaan tersebut, dan sidang kembali dilanjutkan dengan memeriksa dua saksi lainnya, yaitu Jajang dan Agus. Keduanya memberikan kesaksian terkait pengoperasian bus TAMPOMAS dan keterlibatan terdakwa dalam mengelola bus secara komersial tanpa izin.
Kasus ini telah menyita perhatian publik karena melibatkan aset pemerintah yang semestinya dimanfaatkan untuk kemajuan sektor pariwisata di Kabupaten Sumedang. Tindakan Diki Suharto yang menyalahgunakan aset untuk kepentingan pribadi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang seharusnya menjaga aset daerah dengan baik.
Diki Suharto sendiri didakwa melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara berdasarkan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dari Inspektorat Kabupaten Sumedang. Dari hasil perhitungan tersebut, kerugian negara akibat pengoperasian bus TAMPOMAS oleh terdakwa mencapai Rp686.600.000, dengan pendapatan yang tidak pernah disetorkan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Selain itu, dalam persidangan terungkap bahwa terdakwa telah melakukan pembukuan yang dianggap tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Catatan keuangan yang disampaikan Diki Suharto diduga hanya sebagai upaya untuk menutupi aliran dana yang seharusnya disetorkan kepada pemerintah daerah.
Persidangan terhadap kasus ini masih akan berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan saksi lainnya serta pembelaan dari pihak terdakwa. Publik berharap agar proses hukum ini dapat berjalan secara transparan dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola aset negara dan mencegah praktik korupsi yang dapat merugikan masyarakat luas.***