DESKJABAR – Di tengah masa transisi pemerintahan Prabowo-Gibran, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) terkait kemasan rokok polos tanpa merek menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Aturan ini dipandang diskriminatif dan tidak tepat untuk dijalankan karena minimnya partisipasi publik dalam proses perumusannya, terutama terkait sektor tembakau yang mencakup lingkup besar dari hulu hingga hilir.
Praktisi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hari Prasetiyo, menyatakan bahwa kebijakan ini terlihat memaksa dan berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan yang sudah disahkan sebelumnya. "Aturan terkait zat adiktif, termasuk kemasan rokok polos tanpa merek, tampak terlalu menyudutkan tembakau dan tidak sesuai dengan kondisi ekosistem tembakau di Indonesia," ujar Hari dalam diskusi publik INDEF bertema "Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram" di Jakarta.
Hari mengingatkan bahwa Indonesia tidak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sehingga penerapan kebijakan ini perlu mempertimbangkan kompleksitas lokal, termasuk ekonomi yang tergantung pada sektor tembakau. Menurut Hari, kebijakan ini bisa berdampak buruk pada petani dan pelaku usaha di sektor tembakau yang selama ini menjadi produsen utama dengan budidaya yang besar.
Baca Juga: Penjelasan Lengkap Polda Metro Jaya Peran 5 Pelaku Pembubaran Diskusi di Kemang
"Kalau pemerintah ingin mengatur tembakau, seharusnya duduk bersama dengan pelaku usaha dan memahami dampaknya. Aturan ini terlihat dibuat terburu-buru dan memiliki target pelaksanaan yang tidak realistis, bahkan terkesan hanya untuk memenuhi statement Presiden tanpa mempertimbangkan dampak bagi masyarakat," tambah Hari.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey, juga menyoroti dampak aturan ini terhadap pelaku usaha di sektor ritel. Menurutnya, sektor tembakau telah berkontribusi besar terhadap pendapatan ritel dan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, kurangnya keterlibatan pelaku usaha dalam perumusan kebijakan telah menciptakan ketidakpastian dan mengancam stabilitas ekonomi sektor ritel.
"Kemenkes jangan sampai tumpang tindih dalam mengatur komoditas yang memiliki dampak ekonomi besar. Ada banyak pasal yang ambigu dan tidak bisa dilaksanakan. Apakah peraturan ini hanya menjadi pajangan sementara di lapangan terjadi perdamaian dengan oknum?" tanya Roy. Ia juga mengingatkan bahwa aturan ini dapat meningkatkan penjualan rokok ilegal karena pembatasan terhadap produk legal yang selama ini menjadi sumber pendapatan negara.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita, menyayangkan penyusunan regulasi secara omnibus yang menitikberatkan justifikasi pada Kementerian Kesehatan, tanpa melibatkan pelaku usaha yang terdampak langsung. Menurutnya, pendekatan ini membuat para pelaku usaha kecil dan stakeholder industri tembakau menjadi terpinggirkan.
"Setelah PP-nya keluar, Kemenkes terlihat mempercepat proses regulasi ini. Ini gejala yang cukup aneh dan tidak sesuai dengan cara penyusunan kebijakan yang ideal," tambah Garindra.
Dampak Ekonomi yang Signifikan
Berdasarkan hasil studi dampak dari Rancangan Permenkes dan PP 28/2024, penerapan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan dalam radius 200 meter, serta pembatasan iklan, dapat mengakibatkan dampak ekonomi yang besar. Jika ketiga skenario tersebut diterapkan secara bersamaan, diperkirakan dampak ekonomi yang hilang mencapai Rp308 triliun, dan penerimaan perpajakan bisa menurun hingga Rp160,6 triliun.
Kritik terhadap kebijakan ini menekankan pentingnya pelibatan semua pihak, termasuk pelaku usaha dan masyarakat, dalam proses perumusan kebijakan yang berdampak luas. Perumusan kebijakan tanpa partisipasi publik yang bermakna hanya akan menciptakan ketidakadilan dan meningkatkan potensi kebijakan yang diskriminatif, terlebih dalam sektor yang memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional.***