DESKJABAR - Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek menuai banyak kritik. Kebijakan ini dinilai dapat merugikan perekonomian hingga Rp308 triliun dan berpotensi menjadi beban besar bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru dilantik. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pakar ekonomi dan pelaku industri, kritik ini menyoroti lemahnya kajian dampak ekonomi dan minimnya partisipasi para pemangku kepentingan dalam proses perumusannya.
Dampak Ekonomi Signifikan: Rp308 Triliun Menguap Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) tentang kemasan rokok polos tanpa merek diprediksi merugikan ekonomi nasional. Menurut studi yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), kebijakan ini dapat menyebabkan hilangnya dampak ekonomi hingga mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, penerimaan perpajakan juga diperkirakan turun hingga Rp160,6 triliun, sekitar 7% dari total penerimaan perpajakan nasional.
Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, menilai kebijakan ini tidak hanya berdampak pada industri rokok, tetapi juga akan memukul berbagai industri pendukung, termasuk kemasan, tembakau, cengkeh, ritel, hingga sektor periklanan. “Pemerintah perlu melihat dampaknya secara komprehensif. Kebijakan ini tidak hanya menyasar rokok, tetapi juga berpotensi menekan sektor-sektor terkait lainnya yang selama ini menopang ekonomi daerah dan nasional,” jelasnya.
Jika pemerintah tidak segera mempertimbangkan ulang kebijakan ini, dampaknya tidak hanya akan terasa pada tingkat perusahaan, tetapi juga akan merembet ke lapangan pekerjaan. Menurut INDEF, setidaknya 2,3 juta tenaga kerja yang berhubungan dengan industri tembakau dan produk turunannya berpotensi terdampak, menciptakan gelombang pengangguran baru di Indonesia.
Beban Berat Bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran Dengan kerugian ekonomi yang diproyeksikan sebesar Rp308 triliun, kebijakan ini diperkirakan menjadi beban besar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dan tax ratio 23% yang dicanangkan pemerintah baru berisiko tidak tercapai akibat dampak kebijakan ini. Penerimaan dari cukai rokok yang selama ini menjadi salah satu kontributor besar penerimaan negara diperkirakan mengalami penurunan signifikan, yang pada akhirnya akan mengganggu target fiskal pemerintah.
Tauhid juga mengingatkan bahwa penurunan pendapatan negara dari sektor rokok ini akan menciptakan efek domino, terutama bagi program-program pemerintah yang bergantung pada dana tersebut. "Dengan berkurangnya penerimaan cukai, pemerintah harus mencari cara lain untuk menutup defisit, yang bisa berujung pada pengurangan anggaran sosial atau peningkatan utang," ujar Tauhid.
Minimnya Partisipasi Pemangku Kepentingan dan Resistensi Kuat Kritik juga datang dari Direktorat Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Nugraha Prasetya Yogie, Pembina Industri Ahli Madya di Kemenperin, menyatakan bahwa kementeriannya tidak pernah diikutsertakan dalam proses public hearing yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Padahal, Kemenperin memiliki peran besar dalam mengawasi industri tembakau dan memastikan produksinya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Secara umum, industri tembakau belum siap menyesuaikan diri dengan peraturan baru. Kami melihat masih banyak pengaturan yang belum jelas, dan ini membuat implementasi PP 28/2024 sulit dilaksanakan, apalagi dengan adanya Rancangan Permenkes ini,” ungkap Yogie.
Yogie menyoroti bahwa pengaturan terkait zat adiktif dalam tembakau seharusnya tidak dilakukan sepihak tanpa melibatkan pelaku industri, konsumen, dan para pemangku kebijakan lainnya. "Ekosistem tembakau di Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain, sehingga pengaturan yang diterapkan harus mempertimbangkan konteks lokal dan melibatkan semua pihak terkait," tambahnya.
Protes Dari Pelaku Industri Tembakau Dari sisi pelaku industri, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, juga merasa aturan ini mengancam kelangsungan usaha para anggotanya. Menurut Henry, banyak kejanggalan dalam aturan turunan ini, dan pihaknya tidak pernah diberi kesempatan untuk memberikan masukan. “Kami belum pernah diajak berdiskusi mengenai Rancangan Permenkes ini. Kebijakan ini sangat jauh dari apa yang diamanatkan UU Kesehatan, dan kami khawatir dampaknya akan sangat besar bagi industri,” ungkap Henry.
Senada dengan Henry, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi, juga menyayangkan kurangnya transparansi dalam penyusunan kebijakan ini. Benny menegaskan bahwa amanat untuk menyusun standardisasi kemasan rokok polos tanpa merek tidak pernah disebutkan dalam UU Kesehatan maupun PP 28/2024 yang menjadi landasannya. "Kemenkes seolah memaksakan regulasi ini di saat-saat terakhir tanpa membuka ruang diskusi yang berarti. Hal ini jelas berpotensi menimbulkan kegaduhan di tengah industri," tegas Benny.
Kebijakan yang Tidak Tepat Waktu dan Berisiko Tinggi Selain itu, waktu penerapan kebijakan ini juga menjadi sorotan. Di saat perekonomian global masih berjuang pulih pascapandemi, pengenaan regulasi baru yang berisiko menurunkan pendapatan negara dari sektor strategis dianggap kurang bijaksana. Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, diperlukan kebijakan yang justru mendorong pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja, bukan sebaliknya.
Pengamat kebijakan publik menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kembali rencana implementasi PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes tentang kemasan rokok polos tanpa merek. Kajian dampak regulasi (Regulatory Impact Assessment) serta keterlibatan lebih luas dari para pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat.***