Rugikan Perekonomian Rp308 Triliun, Aturan Kemasan Rokok Polos Jadi Ancaman dan Beban Tambahan Prabowo GIbran

Tayang: 30 September 2024, 09:25 WIB
Penulis: Yedi Supriadi
Editor: Tim Desk Jabar
Ilustrasi kemasan rokok polos
Ilustrasi kemasan rokok polos /pixabay/ds_30

DESKJABAR - Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek menuai banyak kritik. Kebijakan ini dinilai dapat merugikan perekonomian hingga Rp308 triliun dan berpotensi menjadi beban besar bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru dilantik. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pakar ekonomi dan pelaku industri, kritik ini menyoroti lemahnya kajian dampak ekonomi dan minimnya partisipasi para pemangku kepentingan dalam proses perumusannya.

Baca Juga: Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek: Solusi yang Kontroversial, Beban Berat Bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Dampak Ekonomi Signifikan: Rp308 Triliun Menguap Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) tentang kemasan rokok polos tanpa merek diprediksi merugikan ekonomi nasional. Menurut studi yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), kebijakan ini dapat menyebabkan hilangnya dampak ekonomi hingga mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, penerimaan perpajakan juga diperkirakan turun hingga Rp160,6 triliun, sekitar 7% dari total penerimaan perpajakan nasional.

Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, menilai kebijakan ini tidak hanya berdampak pada industri rokok, tetapi juga akan memukul berbagai industri pendukung, termasuk kemasan, tembakau, cengkeh, ritel, hingga sektor periklanan. “Pemerintah perlu melihat dampaknya secara komprehensif. Kebijakan ini tidak hanya menyasar rokok, tetapi juga berpotensi menekan sektor-sektor terkait lainnya yang selama ini menopang ekonomi daerah dan nasional,” jelasnya.

Jika pemerintah tidak segera mempertimbangkan ulang kebijakan ini, dampaknya tidak hanya akan terasa pada tingkat perusahaan, tetapi juga akan merembet ke lapangan pekerjaan. Menurut INDEF, setidaknya 2,3 juta tenaga kerja yang berhubungan dengan industri tembakau dan produk turunannya berpotensi terdampak, menciptakan gelombang pengangguran baru di Indonesia.

Beban Berat Bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran Dengan kerugian ekonomi yang diproyeksikan sebesar Rp308 triliun, kebijakan ini diperkirakan menjadi beban besar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dan tax ratio 23% yang dicanangkan pemerintah baru berisiko tidak tercapai akibat dampak kebijakan ini. Penerimaan dari cukai rokok yang selama ini menjadi salah satu kontributor besar penerimaan negara diperkirakan mengalami penurunan signifikan, yang pada akhirnya akan mengganggu target fiskal pemerintah.

Tauhid juga mengingatkan bahwa penurunan pendapatan negara dari sektor rokok ini akan menciptakan efek domino, terutama bagi program-program pemerintah yang bergantung pada dana tersebut. "Dengan berkurangnya penerimaan cukai, pemerintah harus mencari cara lain untuk menutup defisit, yang bisa berujung pada pengurangan anggaran sosial atau peningkatan utang," ujar Tauhid.

Minimnya Partisipasi Pemangku Kepentingan dan Resistensi Kuat Kritik juga datang dari Direktorat Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Nugraha Prasetya Yogie, Pembina Industri Ahli Madya di Kemenperin, menyatakan bahwa kementeriannya tidak pernah diikutsertakan dalam proses public hearing yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Padahal, Kemenperin memiliki peran besar dalam mengawasi industri tembakau dan memastikan produksinya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

“Secara umum, industri tembakau belum siap menyesuaikan diri dengan peraturan baru. Kami melihat masih banyak pengaturan yang belum jelas, dan ini membuat implementasi PP 28/2024 sulit dilaksanakan, apalagi dengan adanya Rancangan Permenkes ini,” ungkap Yogie.

Yogie menyoroti bahwa pengaturan terkait zat adiktif dalam tembakau seharusnya tidak dilakukan sepihak tanpa melibatkan pelaku industri, konsumen, dan para pemangku kebijakan lainnya. "Ekosistem tembakau di Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain, sehingga pengaturan yang diterapkan harus mempertimbangkan konteks lokal dan melibatkan semua pihak terkait," tambahnya.

Halaman:

Tags

Terkini

Trending

Berita Pilgub